JAKARTA – Peneliti Insists sekaligus direktur Center of Gender Studies (CGS), Dinar Dewi Kania, menilai akhir-akhir gerakan feminisme hadir dengan isu sentral kesetaraan gender dalam dunia pemikiran Islam. Hal itu telah menjadi persoalan kontemporer dan terus menimbulkan kontroversi.
Dinar mencontohkan saat para feminis berbicara seksualitas yang selalu dikaitkan dengan isu tubuh. Para feminis menganggap kebebasan perempuan adalah mampu menguasai dan mengontrol tubuh.
“Kalau cuma hak-hak publik untuk berpartisipasi di publik sebenarnya kebebasan semu atau kebahagiaan semu. Etika perempuan bisa menguasai dan mengontrol tubuhnya itu dianggap kebebasan atau kebahagiaan sejati,” kata Dinar webinar Insists Indonesia, Sabtu (24/12/2022).
Ruang lingkup tersebut sebenarnya tidak menjadi bahan kajian feminis liberal saat pertama kali muncul di Barat. Fokus feminis liberal awalnya lebih kepada emansipasi wanita seperti menuntut hak-hak pendidikan, hak properti, hingga hak politik. Hal itu karena di Barat hal tersebut tidak ada dalam budaya dan perundangan mereka.
“Tapi berkembang karena sudah mendapatkan itu, akhirnya mereka lebih masuk ke isu-isu seksualitas yang memang menjadi pembahasan feminis,” kata Dinar.
Di Indonesia, feminisme juga sudah marak dan masuk ke dalam perundangan Indonesia. Mulai dari RUU PKS, Permendikbudristek No.30/2021, hingga KUHP. Namun, ada pergeseran strategi yang dilakukan oleh para feminis di Indonesia. Jika dulu tokoh sentral pergerakan adalah feminis sekuler, sekarang justru feminis muslim.
Dinar mencontohkan RUU PKS pada 2016 yang menyorot masalah kekerasan seksual. Pro-kotra dari draft RUU PKS pada 2016 karena mengandung nilai-nilai sangat feminis. Ideologi feminisme sangat kental dalam rancangan regulasi tersebut.
“Benar-benar ideologi luar biasa, sehingga pertentangan worldview itu sangat kentara, sehingga 2019 kita melakukan advokasi akhirnya dewan dan pemerintah melakukan kajian lalu mengeluarkan daftar inventaris masalah (DIM),” kata Dinar.
Aktivis muslim terus melakukan perlawanan untuk menentang rancangan regulasi tersebut. Pada akhirnya, dewan memutuskan menolak RUU PKS pada 2019. Hanya saja dewan tidak carry over, jadi RUU PKS akan diulang dari awal.
Kaum feminis rupanya tidak berhenti. Feminis sekuler mundur, lalu mendorong feminis muslim untuk menjadi tokoh sentral. Feminis muslim memiliki ciri khas gerakan. Mereka menggunakan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits yang disesuikan dengan pemikiran feminis.
Feminis muslim juga memakai kasus yang ada di tengah masyarakat, lalu memberikan solusi ala feminis. Dua stategi itu memiliki tujuan khusus, yakni mengaburkan definisi yang ada dalam RUU PKS.
“2022 ini mereka memakai feminis muslim, sehingga argumentasi yang dibangun memang memakai agama. Strategi yang mereka gunakan yang penting kata-kata itu diterima dulu , atau diadopsi oleh perundangan, oleh wacana-wacana keilmuan tanpa memberikan defenisi yang jelas. Memang dibikin buram,” kata Dinar.
Isu RUU PKS belum selesai, kelompok feminis kembali beraksi di tingkat kementerian. Itu ditandai Permendukbudristek No.30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
“Isu yang sama juga dibawa Permendikbud Ristek soal kekerasan seksual di perguruan tinggi. Bahkan, Muhammadiyah mengeluarkan suara, karena memang sama dengan RUU PKS di awal, yang memang sangat feminis,” kata Dinar.
Hal serupa terjadi dalam KUHP. Dinar mencontohkan beberapa pasal yang sangat kental dengan worldview feminis. Hal itu bisa dilihat dalam juducial review pasal-pasal kesusilaan KUHP.
Subtansi pasal yang diuji terletak pada terbentuknya norma hukum baru yang sesuai dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia. Mengenai tuntutan besarnya hukuman tidak menjadi fokus dalam permohonan izin materil pasal-pasal ini. Gambaran singkat permohonan uji materiil KUHP adalah sebagai berikut.
– Pasal 284 adalah dengan menghapus frasa ‘telah kawin’ sehingga defenisi perzinahan menjadi diperluas bukan hanya bagi orang yang sudah menikah saja.
– Pasal 285 menghapus frasa ‘wanita’ sehingga makna perkosaan diperluas bukan terhadap wanita saja, tapi bisa terjadi terhadap laki-laki.
– Pasal 292 menghapus frasa ‘dewasa’ dan frasa ‘yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya yang belum dewasa’ sehingga perbuatan cabul sesama jenis diperluas tanpa melihat batasan usia.
“Kita hanya bisa berjuang, meskipun yang menentukan adalah politik hukum,” ungkap Dinar. (Aza)