Indonesiainside.id, Kulon Progo – Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), mengalami kesulitan memenuhi kuota transmigrasi 2019. Minat masyarakat bertransmigrasi pada saat ini sangat rendah.
Kepala Bidang Transmigrasi Disnakertrans Kulon Progo Heri Widada mengakui sangat sulit memenuhi kuota transmigrasi tahun ini, meski sudah dilakukan sosialisasi. Pihaknya sudah melakukan sosialisasi di daerah rawan bencana melalui Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE), penyebaran brosur, leaflet, spanduk ke seluruh desa di Kulon Progo. Sampai saat ini masih terus dibuka pendaftaran sampai terpenuhi kuotanya.
“Kulon Progo ini dapat 15 kuota dan khusus transmigrasi umum terbesar di DIY. Namun hingga saat ini belum terpenuhi juga,” katanya di Kulonprogo, seperti dilansir Antara.
Dia menduga Kulon Progo sudah tak lagi menjadi gudang transmigrasi lagi di DIY. Penyebabnya, sangat mungkin karena adanya bandara, pengembangan objek wisata dan pembangunan infrastruktur di desa-desa, sehingga warga enggan bertransmigrasi.
Dia mengatakan kebanyakan warga Kulon Progo berminat ke Sumatera karena transportasi murah dan sudah banyak sanak keluarga di sana. Kondisi itu membuat mereka merasa nyaman.
Sedangkan di Sulawesi sama sekali belum ada keluarga dan jarak tempuh lama dengan transportasi laut. “Hal ini akan kami sampaikan ke Disnakertrans DIY dan pemerintah pusat,” katanya.
Sesuai ketetapan pemerintah pusat melalui Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DIY, Kulon Progo memperoleh kuota 15 Kepala Keluarga (KK) yang tersebar di empat lokasi meliputi tiga di Sulawesi yakni Mamuju Tengah empat KK, Konawe empat KK dan Muna tiga KK, sedangkan satu lokasi di Siemelue Aceh empat KK.
“Sampai akhir Oktober ini, baru kuota di Mamuju Tengah dan Muna yang sudah ada peminatnya. Muna sudah diberangkatkan, tinggal Mamuju Tengah yang direncanakan November juga segera diberangkatkan,” kata Heri.
Kasie Penyediaan Transmigrasi Disnakertrans Kulon Progo Totok Hermawan mengatakan belum terpenuhinya kuota, karena calon transmigran berubah pikiran. Ketika mereka mendaftar diri mantap ikut bertransmigrasi, tetapi jelang berangkat terjadi kebimbangan, sehingga tidak jadi berangkat.
Ia mengakui, menjelang akhir tahun ini adalah saat keberangkatan, seperti baru saja ke lokasi Raimuna di Muna Sulawesi, untuk persiapan semuanya di lokasi lain yang sudah mendaftar jauh-jauh hari dipanggil melengkapi syarat-syarat.
Dalam sejarah, transmigrasi sudah dikenal pada masa orde lama. Namun, barulah terdengar gaungnya pada era Soeharto yang menjadi presiden pada tahun 1967, yaitu pada Pelita I sampai VI yang dicanangkan pada 1969. Di masa Pelita tersebutlah, program transmigrasi digencarkan.
Banyak situs atau peninggalan transmigrasi era Soeharto, dari Aceh sampai Papua, yang berhasil dan berkembang pesat. Beberapa kawasan dan pemukiman transmigrasi, sudah menjelma jadi kecamatan, ibu kota kabupaten dan kota, bahkan ada yang menjadi provinsi baru.
Padahal sebelumnya merupakan desa di tengah belantara. Namun, terjadi perubahan signifikan dengan lahirnya tokoh dan sesepuh daerah setempat.
Perubahan tersebut tidak lepas dari peran serta Presiden Soeharto. Ketika menjadi Presiden kedua, sejak 1967 hingga 1997, Presiden Soeharto mendorong pemerataan pembangunan keseluruh pelosok Indonesia. Itulah sebabnya dia diberi gelar Bapak Pembangunan.
Periode antara 1967 hingga 1997, menjadi pelaksanaan pembangunan transmigrasi yang sangat luar biasa pesatnya. Perjuangan mereka dalam membangun pemukiman hasilnya dapat dinikmati saat ini. (Aza/Ant)