Indonesiainside.id, Surabaya – Komisi C Bidang Pembangunan DPRD Surabaya mengritik reklamasi Pantai Kenjeran Surabaya. Mereka menilai reklamasi atau pengurukan di kawasan pantai itu melanggar Perda Provinsi Jatim Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pupau-pulau kecil Provinsi Jawa Timur Tahun 2018-2038.
“Dalam Perda 1/2018 disebutkan, bahwa setiap kegiatan reklamasi harus seizin Gubernur Jatim yang mempunyai wewenang 12 mil dari bibir pantai,” kata Ketua Komisi C DPRD Surabaya, Baktiono, di Surabaya, Rabu (27/11). Ia menjelaskan hasil rapat dengar pendapat di Komisi C dengan beberapa pihak beberapa hari lalu banyak masukan yang menyebutkan reklamasi yang diduga dilakukan sejumlah pengembang serta warga Bulak itu melanggar aturan.
Baktiono menambahkan awalnya reklamasi ini atas inisiatif warga karena ingin mempunyai tempat pengeringan hasil tangkapan laut. Hal itu dikarenakan selama ini para nelayan menjemur hasil tangkapan laut berupa ikan di pinggir jalan.
“Masyarakat nelayan ini sudah menyampaikan permintaannya ke Pemkot Surabaya. Anehnya malah dibangunkan sentra ikan Bulak yang tidak menjawab kebutuhan nelayan,” ujarnya.
Seiring dengan berjalannya waktu, lanjut dia, reklamasi ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk membangun kawasan pemukiman. “Kita inginkan kepada warga agar menghentikan aktivitas pengurukan karena melanggar hukum dan menghindari kejadian yang tidak diinginkan di kemudian hari,” kata Sekretaris DPC PDI Perjuangan Surabaya ini.
Salah seorang warga kelurahan Sukolilo, Hanafi, mengatakan pengurukan itu sudah dilakukan sejak tahun 1990. Menurut dia, warga mengistilahkannya dengan revitalisasi bukan reklamasi, karena ini adalah tanah milik nenek moyangnya yang tergerus air laut.
Menurut dia, pengurukan itu atas inisiatif warga yang sudah disetujui oleh pihak RT, RW dan kelurahan saat itu. “Setiap tanah yang diuruk juga sudah terbit SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) sekitar seratus jumlahnya. Tapi belum semua lahan sudah teruruk, baru sekitar 50 persen saja,” ujarnya.
Hanafi mengatakan warga punya nomor urut pengurukan. Dibutuhkan sekitar 70 dumb truk sirtu (pasir dan batu) untuk menguruk lahan seluas 7 kali 12 meter persegi. “Kalau soal jual beli itu bukan jual beli lahan, melainkan ganti biaya pengurukan,” tuturnya.
Hanafi menegaskan, bahwa warga selama ini tidak tahu kalau pengurukan itu melanggar aturan. Warga tidak pernah mendapatkan sosialisasi.
Setelah mendapat peringatan dari Komisi C DPRD Surabaya untuk menghentikan pengurukan, Hanafi menjelaskan akan menyampaikannya ke warga. “Terserah warga nantinya bagaimana,” katanya. (AS)