Indonesiainside.id, Kupang – Ahli Bidang Daerah Aliran Sungai dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Dr Michael Riwu Kaho mengatakan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menghadapi masalah serius akibat kerusakan lingkungan setiap tahun. Menurut dia, hasil-hasil penelitian ilmiah menunjukkan bahwa kawasan hutan NTT mungkin tinggal tersisa lima sampai enam persen saja pada kurun 2040 sampai 2050 hutan.
“Kita mengalami masalah yang serius soal kerusakan hutan di NTT karena setiap tahun jumlah hutan yang rusak mencapai 15 ribu hektare,” katanya di Kupang, Kamis(28/11).
Ketua Forum Daerah Aliran Sungai (DAS) NTT itu mengatakan bahwa upaya pemulihan hutan yang dilakukan pemerintah juga hanya mencakup tiga ribu hektare lahan setiap tahun, tidak sebanding dengan laju kerusakan hutan yang terjadi.
“Dengan begitu kemampuan kita menangkap air akan menurun drastis karena pohon-pohon untuk memproses air itu semakin habis akibat kerusakan hutan dan lahan,” katanya.
“Kalau ini terjadi maka tentu akan memperparah ketersediaan air kita karena pulau-pulau kita di NTT ini 98 persen di antaranya sangat kecil,” ia menambahkan.
Dosen Fakultas Peternakan dan Pasca Sarjana Undana Kupang itu mengatakan, selama musim kemarau panjang kebakaran menimbulkan banyak kerusakan hutan dan lahan.
“Bahkan setiap tahun kita di NTT selalu pada deretan atas daerah dengan titik panas terbanyak di Indonesia,” katanya.
Ia berharap pemerintah daerah memprioritaskan penanganan kerusakan hutan dan lahan dan meningkatkan upaya pemulihan hutan dan lahan yang rusak, termasuk penanaman pohon yang bisa mendatangkan berbagai manfaat.
Data KLH
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan sepanjang Januari hingga Agustus 2019, luas hutan dan lahan terbakar mencapai 135.749 hektar. Dari luasan lahan yang terbakar dalam kurun tersebut adalah Nusa Tenggara Timur, yakni mencapai 71.712 hektar.
Dalam jumpa pers di kantor Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di Jakarta, Jumat (30/8), Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan bencana (BNPB) Agus Wibowo menjelaskan luas hutan dan lahan terbakar terbanyak setelah Nusa Tenggara Timur adalah Riau (30.065 hektar) dan Kepulauan Riau (4.079 hektar).
“Timur itu 4.430, Kalimantan Selatan 4.670, Kalimantan Tengah tiga ribu, Kalimantan Barat tiga ribu juga. Paling rendah Bengkulu, dua hektar,” kata Agus.
Sementara Kepala Sub Bidang Analisa dan Informasi Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Adi Ripaldi menjelaskan titik panas terbanyak untuk bulan ini terdapat di Kalimantan Barat, yakni tujuh ribu titik panas, Disusul Kalimantan Tengah, Riau, dan Nusa Tenggara Timur.
Sedangkan luas hutan dan lahan terbakar secara garis besar adalah di Bali dan Nusa Tenggara (73.467 hektar), Sumatera (36.922 hektar), Kalimantan (16.892 hektar), Maluka dan Papua (4.124 hektar), Jawa (2.461 hektar), serta Sulawesi (1.883 hektar). (EP)