Indonesiainside.id, Banda Aceh – Pengabdian Sulastri dalam dunia pendidikan di Dusun Kala Wih Ilang, Kecamatan Pegasing, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh, sudah tak diragukan lagi oleh masyarakat sekitar. Alhasil, sosok ibu bagi anak-anak desa setempat itu diganjar penghargaan oleh Kementerian Agama RI pada Selasa (10/12) di Jakarta.
Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kementerian Agama (Kemenag) Aceh, Daud Pakeh mengapresiasi perjuangan Sulastri dalam memperjuangkan pendidikan di Tanah Gayo hingga dirinya mendapatkan penghargaan dari Menteri Agama RI sebagai guru inspiratif.
Kakanwil mengatakan, keikhlasan adalah kunci kesuksesan. Di mata Daud Pakeh, Sulastri merupakan sosok yang tidak kenal menyerah. Bahkan dirinya pernah mengalami keguguran sebanyak dua kali karena jalur yang ditempuh ke sekolah cukup berat demi pendidikan harus hidup dan berjalan.
“Bu Sulastri sosok yang sangat ikhlas dan pekerja keras, beliau sudah mewaqafkan dirinya untuk anak-anak bangsa di pedalaman Gayo. Dia tidak pernah kenal lelah,” ujar Daud Pakeh di Banda Aceh, Kamis (12/12).
Menurut Daud, berkat niat baik Sulastri untuk memajukan pendidikan di pedalaman Gayo, kini berbagai pihak telah ikut memberikan bantuan di lokasi dimana Sulastri mendirikan sekolah.
“Melalui keikhlasan Sulastri, Allah mengilhami kepada berbagai pihak untuk ikut bersama memperhatikan dan membantu masyarakat Kala Eih Ilang. Semoga di Aceh akan lahir sosok-sosok tangguh seperti Sulastri yang rela mengorbankan dirinya demi mencerdaskan anak bangsa. Kita menanti akan lahir seribu Sulastri yang lain,” ujarnya.
Diketahui, kisah Sulastri ini berawal dari rasa keprihatinannya melihat kondisi anak-anak di desa setempat masih banyak mengalami buta huruf sehingga ia bersama sang paman mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) Kala Wih Ilang pada 2013 silam.
Sulastri yang dulunya berprofesi sebagai penyuluh di Kantor Urusan Agama (KUA) Pegasing mulai mewakafkan dirinya demi mencerdaskan anak-anak bangsa. Sulastri juga harus melanjutkan perjuangannya sendiri setelah pamannya meninggal dunia.
“Setelah dia (paman) meninggal, saya melanjutkan langsung sekolah yang masih berdinding papan, beralaskan tanah di saat itu,” ujar Sulastri.
Tidak hanya mendirikan sekolah, Sulastri bersama suaminya juga ikut memberikan bantuan peralatan sekolah bagi murid jika para wali tidak mampu menyediakannya.
“Nah, kapur tulis, buku tulis, seperti alat ATK semua, kalau tidak mencukupi dari wali muridnya, jadi sayalah yang bertanggung jawab bersama suami saya untuk memberikan peralatan sekolah,” kata Sulastri.
Pada tahun 2017, akhirnya pemerintah mulai memberikan perhatian untuk sekolah yang dipimpin oleh Sulastri. Pembangunan fisik sekolah juga sudah rampung.
Kini, sekolah yang dibangun Sulastri bersama keluarganya telah berkembang. Sejumlah ruangan bantuan dari pemerintah telah dimanfaatkan oleh para siswa. Selain itu, sejumlah alumni MIS tersebut juga difasilitasi untuk melanjutkan pendidikan di salah satu Ma’had di Banda Aceh.
Bahkan, kisah perjuangan Sulastri tersebut telah difilmkan. Film dokumenter berjudul “Cahaya di atas bukit” dan “Pelangi Sang Pemimpi” yang diprakarsai Kemenag Aceh membuat ia mendapat penghargaan tersebut. (PS)