Indonesiainside.id, Jakarta – Wilayah Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat selalu berada pada urutan pertama dan kedua kasus Covid-19 secara nasional. Secara geografis, kedua wilayah ini juga saling berdekatan dan dapat diakses dari berbagai lokasi strategis.
Setidaknya, peningkatan kasus ini dapat dilihat tiga hari ke belakang. Pada 8 April, kasus Covid-19 di DKI Jakarta sebanyak 1.470 kasus, sedangkan Jawa Barat 365 kasus positif. Selang satu hari, pada 9 April, DKI Jakarta bertambah 236 menjadi 1.706, sementara Jawa Barat bertambah 11 menjadi 376 kasus.
Kemudian pada tanggal 10 April, Jakarta bertambah 47 menjadi 1.753 kasus positif. Sedangkan Jawa Barat bertambah 12 menjadi 389 kasus.
Adapun per hari ini, Jakarta bertambah 196 menjadi 1.949 kasus. Dan Jawa Barat bertambah 32 menjadi 421.
DKI Jakarta menjadi wilayah pertama yang mengajukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) kepada pemerintah melalui Kementerian Kesehatan. Kota Metropolitan ini disetujui oleh pemerintah pusat untuk menerapkan PSBB sejak Jumat (10/4) kemarin guna memutus mata rantai Covid-19.
Sedangkan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, saat ini masih menunggu keputusan pemerintah untuk 5 wilayah di bumi Pasundan, yaitu Kabupaten dan Kota Bogor, Kota Depok, serta Kabupaten dan Kota Bekasi (Bodebek).
Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diyakini tidak akan berjalan efektif seperti yang diharapkan. Sebab, keputusan tersebut ternyata tidak diiringi dengan adanya sanksi dan kompensasi.
Anggota Komisi IX DPR, Saleh Partaonan Daulay menilai, sanksi dan kompensasi harus ditegaskan secara beriringan. Sebab, kata dia, aturan yang baik mestilah diiringi dengan hukuman dan penghargaan. Yang melanggar diberi hukuman, dan yang taat diberi penghargaan.
“Sanksi mestinya diberikan bagi mereka yang melanggar. Sementara kompensasi, diberikan kepada mereka yang terdampak langsung dari kebijakan ini,” kata Saleh di Jakarta, pekan lalu.
“Saya sudah membaca peraturan pemerintah, keppres, dan juga perppu yang baru ditandatangani presiden. Di dalam ketiga payung hukum itu, sanksi dan kompensasi tidak diatur secara spesifik. Akibatnya, opsi PSBB dikhawatirkan hanya akan menjadi imbauan,” ujarnya.
Sementara itu, kata dia, kompensasi adalah sebagai turunan dari ketaatan warga masyarakat atas kebijakan PSBB. Dengan adanya PSBB, ada banyak warga masyarakat yang ekonominya terganggu.
“Mereka tidak bisa bekerja sebagaimana biasanya. Sebagian dari mereka itu justru bekerja harian untuk menutupi kebutuhan harian mereka. Kelompok masyarakat seperti inilah yang perlu diberi kompensasi,” Wakil Ketua MKD ini mengatakan.
Dengan begitu, kompensasi dan sanksi merupakan keniscayaan agar PSBB dapat berjalan efektif. Upaya ini juga diharapkan mampu menekan angka penyebaran Covid-19. (SD)