Indonesiainside.id, Timika – Ribuan warga Kampung Banti dan Opitawak, Distrik Tembagapura, tidak bisa kembali ke kampung mereka sehingga terkatung-katung di Timika sampai sekarang. Sedikitnya ada 1.800 jiwa warga Banti dan Opitawak yang mengungsi sendiri ke Timika sejak awal Maret karena situasi di kampung mereka tidak aman saat itu.
Namun, hingga kini, mereka masih harus mengungsi dan seolah-olah ada pihak yang tidak menghendaki mereka kembali lagi. Apakah karena jarak permukiman mereka yang dekat dengan kota pertambangan Freeport di Tembagapura itu menjadi penyebab mereka tidak dikehendaki lagi pulang kampung?
Aktivis HAM yang juga Pendiri Kantor Hukum dan HAM Lokataru Foundation, Haris Azhar, menduga sepertinya memang ada pihak-pihak tertentu yang tidak menghendaki mereka pulang. Namun, dia tidak mau berspekulasi lebih jauh mengenai hal itu.
“Saya mencurigai ada siasat jahat untuk membiarkan masyarakat tidak bisa kembali ke kampungnya, padahal mereka turun dari Tembagapura ke Timika beberapa bulan lalu itu atas kerelaan mereka sendiri, bukan karena diusir,” kata Haris Azhar di Timika, Selasa (27/10).
Haris Azhar yang menjadi kuasa hukum Forum Pemilik Hak Sulung Tsinga, Waa-Banti, Aroanop (FPHS Tsingwarop) berjanji untuk memperjuangkan pengembalian sekitar 1.800 jiwa warga Banti dan Opitawak yang diungsikan sementara ke Timika sejak awal Maret.
Ribuan warga Banti dan Opitawak mengungsi sementara ke Timika karena situasi di kampung mereka tidak aman setelah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) terlibat konflik bersenjata dengan aparat TNI dan Polri.
“Kami akan proaktif datang ke mereka (pejabat dan instansi terkait) untuk minta dibuka jalan karena masyarakat ini mau balik ke kampungnya. Misalnya tidak dibuka jalannya lalu tidak ada bus yang mau mengangkut, yah masyarakat ini akan jalan kaki dari Timika sampai di Banti dan Opitawak,” kata Haris.
Pada Senin (26/10), Haris Azhar menemui warga Banti dan Opitawak yang bermukim di keluarga mereka di sejumlah tempat di Timika seperti SP2, Kwamki Baru, Mile 32 dan lainnya.
Haris mendengarkan secara langsung aspirasi warga Tembagapura yang menginginkan segera kembali ke kampung halaman mereka agar bisa merayakan Natal di kampungnya pada Desember nanti.
Haris yang pernah menjadi Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) pada 2010-2016 itu mengatakan selama tujuh bulan terakhir warga Banti dan Opitawak dibiarkan keleleran di Timika tanpa ada pihak yang memperhatikan nasib mereka.
“Ini kan sudah tujuh bulan. Mestinya TNI-Polri, Pemda, Pemerintah Pusat membuat tim untuk mengurus nasib mereka ini. Seharusnya negara malu ada warganya 1.800 orang punya inisiatif mengamankan diri, jadi bukan aparat keamanan yang mengamankan mereka. Sebetulnya mereka ini bukan pengungsi, tapi mengevakuasi diri,” katanya.
Warga Banti dan Opitawak rela meninggalkan rumah dan harta benda mereka di kampung pada awal Maret karena situasi keamanan yang terganggu akibat kehadiran KKB.
“Masyarakat memberikan waktu supaya negara masuk mengamankan kampung mereka, nanti setelah aman masyarakat balik lagi. Kan tujuan pembentukan TNI dan Polri untuk itu. Tapi kalau TNI dan Polri tidak mengamankan warganya, lalu dia mau mengamankan siapa,” kata Haris.
Ia menilai penanganan ribuan warga Banti dan Opitawak di Timika selama tujuh bulan itu amburadul, bahkan terkesan dibiarkan begitu saja.
“Dalam kasus ini, seharusnya disusun rencana penanganannya seperti apa. Kalau situasi kampung sudah aman, ayo balik lagi. Pemda siapkan peralatan yang mereka butuhkan, perusahaan (PT Freeport Indonesia) buka akses jalan sehingga semua bisa kembali ke kampung. Tapi yang terjadi, koq seperti ada yang menikmati situasi ini,” tutur Haris.
Dia menuding ada pihak-pihak tertentu yang sangat menikmati situasi dimana ribuan warga Banti, Opitawak dan Kimbeli tidak berada di kampung halaman mereka yang sangat dekat jaraknya dengan kota pertambangan Freeport di Tembagapura itu.
“Ini ada siasat jahat apa? Kalau memang tidak ada siasat jahat, mestinya mereka segera dijemput untuk balik ke kampung. Kalau mereka di Timika terus tentu jadi masalah. Banyak warga yang sakit kena malaria, sudah delapan orang meninggal, banyak yang stres karena tidak punya uang untuk membayar sewa rumah kontrakan. Padahal kalau mereka ada di kampungnya, mereka sehat-sehat semua,” kata Haris. (Aza/Ant)