Indonesiainside.id (Jakarta) – Suhu politik makin panas seiring terus bergulirnya masa kampanye pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (pileg 2019). Kedua kubu baik incumbent pasangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan cawapres Ma’ruf Amin serta capres Prabowo Subianto dan cawapres Sandiaga Uno bersaing menarik simpati publik. Seiring dengan itu, istilah-istilah baru yang terkesan menyindir atau ‘nyinyir’ mulai bertebaran di ranah publik.
Istilah baru seperti politik genderuwo maupun sontoloyo, tampang Boyolali, hingga panggilan ‘cebong’ vs ‘kampret’ makin sering kita dengar di media sosial. Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti menilai pernyataan seputar politik genderuwo yang diceploskan Calon Presiden inkumben Joko Widodo serta tampang Boyolali yang dilontarkan Prabowo Subianto tidak substantif. Ray Rangkuti menyebut pernyataan itu sebagai kampanye nyinyirisme.
“Ruang politik sudah terlalu banyak diisi oleh kampanye nyinyirisme. Semuanya perlu kembali ke kampanye substantif,” kata Rangkuti di Jakarta, kemarin.
Dalam situasi hampir semua tindakan dan ucapan para capres dipermasalahkan, menurut Rangkuti, ungkapan-ungkapan tersebut akan kembali menghangatkan suasana politik. “Akhirnya, publik hanya ribut soal ungkapan yang sebenarnya tidak perlu. Dan wajah kampanye hanya seperti bertarung mengungkapkan ungkapan yang saling menyindir, belum masuk ke soal-soal substantif,” kata dia.
Ray Rangkuti mengatakan seharusnya Jokowi tidak perlu menanggapi nyinyiran atau kritik dengan balas menyindir. Menurut dia, Jokowi seharusnya fokus melaksanakan tugasnya sebagai presiden. Dengan cara seperti ini justru jauh lebih efektif membuat elektabilitasnya naik dari pada sibuk dengan urusan ungkapan yang sekalipun tepat, tapi istilah-istilah yang dipakai akan potensial jadi perdebatan.
“Pada masyarakat yang literasinya masih berkutat pada simbol, kulit dan permukaan, pesan dari simbol tersebut justru terlupakan,” ujar dia.
Karena itu, Ray Rangkuti meminta seluruh elemen mendorong agar kedua pasangan capres dan timnya kembali ke cara berkampanye substantif. Memperdebatkan segala sesuatu yang berhubungan dengan hajat publik dan mengungkapkan tentang hal yang berhubungan dengan masa depan Indonesia, khususnya lima tahun ke depan. Bukan membicarakan politik genderuwo, sontoloyo, atau tampang Boyolali.
Balas membalas ‘nyinyiran’ memang biasa terjadi di politik. Namun, lama kelamaan publik juga terasa bosan dengan istilah nyinyirisme yang tidak konstruktif.
Balas membalas ‘nyinyiran’ itu terlihat dari kritikan yang dilontarkan Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Suhendra Ratu Prawiranegara. Menurut dia, sangat disayangkan jika presiden hanya berkutat pada diksi-diksi seperti sontoloyo dan genderuwo dalam beberapa kesempatan.
Sebab, istilah tersebut bisa menciptakan suasana saling mencurigai sesama bangsa sendiri. “Tentu presiden tidak bermaksud menyamakan para pengkritik atau pihak yang dimaksud sebagai genderuwo. Namun karena kata ini telah terucap dari seorang kepala negara, mau tidak mau, pasti berimplikasi luas. Hal inilah yang patut disayangkan,” ujar Suhendra dalam keterangan persnya.
Dia mengatakan, China menempatkan Indonesia dalam strategi One Belt One Road (OBOR). Konsep tersebut adalah inisiasi strategi geopolitik China dengan pemanfaatan jalur transportasi dunia sebagai jalur perdagangan di kawasan Eurasia.
Gagasan OBOR itu adalah wujud untuk meningkatkan kesejahteraan dan modernisasi China pada tahun 2020, melalui peningkatan sektor perdagangan dengan penyediaan fasilitas infrastruktur yang memadai, baik infrastruktur transportasi darat maupun laut di seluruh kawasan (wilayah).
“Hal-hal semacam ini lah sebenarnya yang harus menjadi concern dari Presiden Jokowi. Harusnya beliau lebih bersiap dengan strategi global. Bukan malah menimbulkan polemik baru dengan istilah sontoloyo dan genderuwo,” katanya.
Dia menambahkan, ilustrasi dan narasi atas sikap serta langkah politik pemimpin China tersebut sudah selayaknya menjadi rujukan atas sikap-sikap politik pemimpin negeri ini.
“Bukan terjebak pada diksi-diksi yang tidak memberikan kontribusi positif atas demokrasi dan kemajuan bangsa. Jawab saja tantangan global saat ini dengan program-program dan gagasan seperti optimalisasi konsep Tol Laut yang masih jauh dari harapan dan target,” pungkasnya.
Istilah politik Genderuwo juga dipertanyakan oleh Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid. “Sontoloyo, Genderuwo itu ungkapan-ungkapan Jawa yang populer di masyarakat Jawa, tapi apakah itu layak dipakai oleh seorang presiden?” tanya Hidayat.
Namun, diakuinya bahwa istilah yang disampaikan Presiden Jokowi itu untuk mengingatkan. Menurut pria yang akrab disapa HNW ini, istilah politik Genderuwo itu sudah menjadi isu publik saat ini.
“Jangan ada yang berpolitik dengan cara genderuwo, genderuwo itu menakutkan terlalu banyak berjanji, tapi tidak melaksanakan itu juga menakutkan, nanti orang-orang enggak percaya dengan sang yang berjanji,” ujar Wakil Ketua MPR ini.
Dia pun tidak sepakat dengan politik yang menakut-nakuti rakyat. “Karena genderuwo itu satu hal yang menakutkan dan menakutkan bisa berlaku dengan cara apapun dan mari jangan berpolitik yang menakutkan,” ujarnya.
Menurut dia, seharusnya politik yang dikedepankan adalah yang mengokohkan NKRI atau Bhinneka Tunggal Ika. “Berpedomankan pada Pancasila dan kalau itu yang terjadi narasi yang dipakai mestinya narasi yang sejalan dengan itu semuanya,” ujarnya. (*/dry)