Oleh: Ahmad Z.R |
Sekjen Partai Berkarya Priyo Budi Santoso mengaku khawatir cadangan surat suara yang tidak dipakai disalahgunakan untuk kepentingan kelompok tertentu.
Indonesiainside.id, Jakarta — Ketua DPW PAN DKI Jakarta, Eko Hendro Purnomo, menilai euforia yang terjadi di tengah masyarakat dalam menyambut Pemilu 2019 lebih terkonsentrasi kepada pemilihan presiden (pilpres) daripada pemilihan anggota legislatif (pileg). Dia pun mengkhawatirkan masyarakat menjadi abai atau tak peduli terhadap pemilihan wakil rakyat untuk DPR, DPD, dan DPRD provinsi maupun kabupaten kota.
“Yang lebih bahaya lagi, pada Hari H katanya penghitungan suara presiden dilakukan paling awal. Nah, yang kita khawatirkan ketika ada ketidakpuasan masyarakat atas hasil pilpres, akan terjadi kericuhan yang berakibat pada proses penghitungan suara DPR, DPRD,dan DPD,” kata Eko dalam diskusi Polemik MNC Trijaya Network di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (23/2).
Menurut dia, KPU harus lebih menggencarkan sosialisasi pemilu legislatif kepada masyarakat. Pasalnya, pada tahun ini pilpres dan pileg diadakan secara serentak. Satu pemilih harus mencoblos hingga lima surat suara di tempat pemungutan suara (TPS).
“Jadi, banyak heterogenitas masyarakat yang inginnya memilih semua atau memilih salah satu saja. Menurut saya, itu sah-sah saja, tetapi sayang kalau hak pilihnya tidak digunakan secara keseluruhan,” ujarnya.
Pada kesempatan sama, Sekretaris Jenderal Partai Berkarya Priyo Budi Santoso menuturkan, animo masyarakat di Jawa Timur seperti Surabaya sangat tinggi dalam menyambut Pemilu 2019. Hal itu ditandai dengan banyaknya alat peraga kampanye (APK) di beberapa jalan besar di kota itu. Namun, menurut dia, hal tersebut tidak memiliki pengaruh signifikan untuk mengangkat suara calon.
“Saya sendiri memutuskan tidak memasang baliho yang tidak perlu karena banyaknya pilihan di tengah-tengah masyarakat. Sebab, menurut pengamat politik hal itu (pemasangan APK) tidak efektif untuk mendulang elektabilitas. Yang terpenting adalah kerja-kerja relawan dan calon dalam menyapa masyarakat,” tutur Priyo.
Dia pun mengkritik daftar pemilih pindahan (DPPh) dan daftar pemilih tambahan (DPTb) yang dirilis oleh KPU karena dianggap masih banyak mengalami ketidakcocokan data. “Kemudian, ketika sedang menelusuri ini, kita dikhawatirkan karena KPU mengatakan pemilih yang pindah domisili tidak mempunyai hak suara. Saya sendiri termasuk pemilih yang pindah dari Jakarta ke Surabaya. Nah, ini yang jadi soal. KPU harus lebih memperhatikan,” ujarnya.
Berdasarkan Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, kata dia, ada alokasi kelebihan pencetakan cadangan surat suara sebesar 2 persen untuk disebar ke lebih dari 800.000 TPS se-Indonesia. Dengan demikian, jika dalam satu TPS ada 200-300 pemilih, maka ada kelebihan sekitar lima hingga enam surat suara.
“Nah, sementara angka yang pindah tidak sebesar angka 2 persen tersebut. Ini yang harus diwaspadai. Apakah KPU sudah mencari formula untuk melindungi kertas surat suara ini? Kalau tidak, maka ada kelebihan banyak surat suara,” ungkap Priyo.
Karena itu, dia mengusulkan agar klausul atau aturan tentang surat suara cadangan tersebut direvisi KPU. Bahkan, dia menyarankan agar aturan itu ditinjau ulang (judicial review) di Mahkamah Konstitusi (MK). “Ada teman juga yang mengusulkan agar presiden mengeluarkan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) khusus di pasal itu. Walaupun saya tidak menyarankan hal tersebut karena nanti bisa merambat ke pasal-pasal lain,” kata Priyo.
Sebelumnya, Komisioner KPU Viryan Aziz mengatakan pihaknya memiliki kendala dalam penyediaan surat suara bagi pemilih yang pindah tempat pemungutan suara (TPS). Hal itu menyebabkan pemilih terancam tak dapat menggunakan hak pilihnya. “KPU mengalami kendala untuk penyediaan surat suaranya. Sebagian dari pemilih dalam daftar pemilih tetap tambahan (DPTb) terancam, memang sudah terdata namun terancam tidak bisa menggunakan hak pilih karena ketersediaan surat suara,” ujar Viryan di Jakarta, Kamis (21/2).
Dalam data KPU, sebanyak 275.923 pemilih tercatat sudah mengurus dokumen pindah memilih. Viryan menyebut jumlah tersebut melebihi ketersediaan surat suara tambahan dalam setiap TPS. “Jadi sebagian dari dua ratusan ribu pemilih DPTb ini terkendala surat suara. Karena di dalam undang-undang disebutkan pencetakan surat suara itu berbasis DPT ditambah 2 persen,” kata Viryan. (AIJ)