Indonesiainside.id, Jakarta – Politikus Partai Gerindra, Sodik Mujahid, mengapresiasi Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mantan narapidana, termasuk kasus korupsi, harus menunggu 5 tahun setelah bebas jika ingin maju sebagai calon kepala daerah (Pilkada). Dalam diktum amarnya, MK mengubah pasal 7 ayat (2) huruf g UU No. 10/2016 tentang penipuan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) tentang syarat calon kepala daerah.
MK membolehkan mantan narapidana korupsi ikut dalam pemilihan kepala 2020 mendatang. Hanya saja, MK melarang maju setelah 5 tahun bebas dari hukuman.
Sodik menjelaskan, ada dua kelompok dalam menanggapi persoalan tersebut. Kelompok pertama berpendapat mantan napi tidak boleh maju sebagai sanksi sosial serta efek jera. Kelompok kedua berpendapat boleh maju karena mantan napi tetap mempunyai hak untuk memilih dan dipilih.
Dengan adanya putusan MK tersebut, maka dua kelompok itu bisa berdamai. “Ini adalah jalan tengah yang baik dan bijak dan tetap konstitusional,” kata Mujahid di Jakarta, Rabu (11/12).
Anggota Komisi II DPR itu menuturkan, Gerindra patuh kepada konstitusi dan hukum termasuk putusan MK terbaru. Meski demikian, kata dia, partai pimpinan Prabowo Subianto itu tetap berkomitmen melarang eks koruptor maju sebagai calon kepala daerah.
“Gerindra tetap aspiratif yakni spt sudah dinyatakan oleh Sekjen Gerindra Ahmad Muzani. Gerindra minta kepada DPC dan DPD se Indonesia untuk tidak mencalonkan mantan napi dalam pilkada,” ujarnya.
Secara khusus dia berharap kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan media memberikan pencerahan kepada masyarakat calon pemilih tentang background setiap kandidat sebelum pelaksanaan Pilkada.
“Keputusan MK Walau belum maksimal efek jera , tapi ada tambahan harapan munculnya efek jera. Tapi memang soal efek jera harus dilakukan secara simultan dalam berbagai bidang tidak hanya dalam pilkada saja,” kata dia.
Sebelumnya, sikap MK itu tertuang dalam putusan teranyar atas permohonan uji materi Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Dua lembaga itu menguji UU Pilkada.
ICW dan Perludem mengaku telah mengetahui Putusan MK No. 42/PUU-Xlll/2015. Dalam putusan itu, MK membolehkan terpidana menjadi calon kepala daerah asalkan mengumumkan kepada publik pernah dihukum.
Namun, kasus Bupati Kudus M. Tamzil yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Juli 2019 menjadi alasan agar mantan koruptor tak boleh lagi mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Tamzil baru bebas dari tahanan dalam kasus korupsi APBD Kudus pada 2015, tetapi bisa mengikuti Pemilihan Bupati Kudus 2018. (EP)