Indonesiainside.id, Jakarta – Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah, membuat catatan singkat memasuki tahun baru 2020. Ia mengingatkan semua anak bangsa tentang subtansi sumpah pemuda. Sebuah sumpah untuk merayakan kebersamaan, persatuan tanah air, bangsa, dan bahasa.
Menurut Fahri, tanah air, bangsa, dan bahasa adalah nasib, rapi agama adalah pilihan. Raja juga bahwa setiap anak bangsa tidak bisa bersatu suku, karena tak bisa memilih menjadi apa saat ini. Setiap anak warga negara tidak bisa memilih darah, maka semua wajib menerima apa adanya.
“Perbedaan latar, gaya, nada, irama dan semua kreasi Tuhan dan fakta kemanusiaan yang natural,” ujar Fahri melalui akun resminya, Rabu (1/1) dini hari.
Mantan Wakil Ketua DPR itu mengimbau agar tiap warga negara berhenti mempersoalkan perbedaan dan mulai merayakan kebersamaan. Itu adalah wujud dari kebangsaan, tanah air, dan bahasa. Segala upaya wajib ditempuh untuk bergembira dengan apa yang telah dimiliki.
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaanya,” kata dia mengutip pembukaan UUD 45 sembari menyebut hal itu sebagai harta yang paling termahal, kemerdekaan.
“Amanah kemerdekaan tidak saja harus dijaga dari bangsa lain, tapi juga bangsa kita sendiri yang bisa saja menganggap kemerdekaan dan kebebasan itu hanyalah terkait dengan bangsa lain. Seolah tirani dan penindasan tak bisa terjadi oleh bangsa sendiri. Tidak!” Ucap dia menegaskan.
Menurut Fahri, masyarakat tak perlu memberi contoh bahwa di atas dunia ini, jumlah bangsa yang dianiaya oleh bangsa sendiri tidak lebih sedikit dan bangsa yang dijajah oleh bangsa lain. Masyarakat bisa melihat sampai saat ini, bangsa sendiri meski caranya halus kadang lebih kejam.
Maka itu, Pembukaan UUD 1945 jelas menegaskan prinsip kedaulatan rakyat. Kemerdekaan yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 bermakna kedaulatan ada di tangan rakyat. Negara Indonesia dibentuk dengan prinsip ‘tanpa kebebasan, tak ada kedaulatan rakyat’.
“Maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat,” demikian kutipan langsungnya, kata Fahri.
Dia lalu mengajak semua pihak mencerna rasa takut yang sedang menghantui negara. Seolah kebebasan boleh dirampas hanya karena negara takut rakyat menggunakan kebebasan itu sebagai alat untuk mengacau.
“Inilah pikiran yang berbahaya. Harus kita lawan,” kata dia. Dia mengajak untuk menyimak UUD 1945 Pasal 1 ayat 1-3. Ayat 1 menyebut ‘Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik. Ayat 2 ‘kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Ayat 3 ‘Negara Indonesia adalah Negara Hukum.
Dia menjelaskan, pasal 1 ayat 2 jelas menegaskan bahwa Indonesia menganut kedaulatan rakyat bukan kedaulatan penguasa sebagai ciri negara yang fasis otoriter. Bahkan kedaulatan itupun bersandar secara tertulis dalam UUD 1945 bukan semua kehendak pemerintah apalagi individual di dalamnya.
Ayat 3 juga menegaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan hukum (rechtsstaats), bukan negara kekuasaan (machtsstaat). Itu yang membedakan negara Indonesia yang dikelola oleh hukum (rule of law) dengan negara yang dikelola oleh kekuasaan orang-orang berkuasa (power state).
Fahri menegaskan bahwa negara hukum adalah negara konstitusional. Hal itu memiliki 3 prinsip yaitu supremasi hukum (orang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum), kedudukan yang sama di depan hukum bagi siapapun (termasuk pemerintah), dan terjaminnya HAM melalui keputusan pengadilan.
“Tiga prinsip ini lah yang harus dijaga dalam keadaan apapun, termasuk ketika pemerintahan kewalahan menghadapi jenis-jenis kebebasan baru yang lahir dari perkembangan ilmu dan teknologi dan demokrasi kita. Pemerintahan tetap harus menjaga prinsip negara hukum kita,” ucap pria kelahiran Nusa Tenggara Barat itu.
Menurut dia, saat ini negara tidak digandrungi investasi tapi digandrungi hutang. Bahkan terakhir, justru memasuki libur tahun baru, negara-negara tetangga dekat dan jauh mengirimkan ‘travel warning’ agar warganya tidak datang ke negara ini, karena dianggap bahaya dan tidak aman.
Hal itu menjadi tantangan bersama. Jika negara dan pemerintah gagal menjawab tantangan itu, bangsa yang telah dimerdekakan dengan darah dan nyawa akan memasuki masa-masa berbahaya.
“Demokrasi kita terancam jika negara hukum diabaikan. Kita wajib sadar dan waspada,” kata dia mengingatkan.(EP)