Indonesiainside.id, Jakarta -Kasus yang mendera dua mantan Staf Khusus Presiden Jokowi, yaitu Belva Devara dan Andi Taufan menjadi pelajaran agar semua penyelenggara negara maupun pejabat pemerintahan untuk selalu menghindari penyalahgunaan wewenang atau “abuse of power”.
Akhirnya keduanya memutuskan mundur karena menimbulkan polemik di masyarakat.
“Memang, patut disesalkan karena mereka adalah tumpuan bangsa dan harapan generasi milenial,” kata Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah, Ahad(26/4).
Basarah mengingatkan, di balik kasus yang menimpa dua orang mantan staf khusus presiden itu, ada pelajaran berharga yang dapat dipetik agar kami ambil hikmahnya untuk selalu menghindari penyalahgunaan wewenang.
Dijelaskannya, setiap pejabat pemerintahan wajib menaati UU No 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang disebutkan bahwa untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan, badan dan atau pejabat pemerintahan dalam menggunakan wewenang harus mengacu pada asas-asas umum pemerintahan yang baik dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hukum administrasi pemerintahan dapat menjadi solusi dalam memberikan perlindungan hukum, baik bagi warga masyarakat maupun pejabat pemerintahan sehingga instrumen UU No 30/2014 menjadi acuan normatif dalam urusan pemerintahan negara.
“Dengan demikian tidak akan terjadi ‘abuse of power’ seperti yang terjadi dalam kasus yang menimpa mantan staf khusus presiden itu,” ujar Ketua DPP PDI Perjuangan itu.
Abuse of power pada hakikatnya adalah penyalahgunaan kekuasaan atau penyimpangan jabatan atau pelanggaran hukum yang dilakukan dalam kapasitas seseorang sebagai pejabat formal dengan tujuan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
“Dasar hukum yang dipakai adalah ketentuan pasal 17 ayat (1) dan (2) UU RI No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan,” tegasnya.
Dalam UU/30/2014 disebutkan dengan jelas bahwa ayat (1) badan dan/atau pejabat pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang; ayat (2) larangan penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. larangan melampaui wewenang; b. larangan mencampuradukkan wewenang dan/atau; c. larangan bertindak sewenang-wenang.
Selanjutnya ketentuan pasal 18 ayat (2) menyebutkan “Badan dan/atau pejabat pemerintahan dikategorikan mencampuradukkan wewenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (2) huruf b apabila keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan: a. di luar cakupan bidang atau materi wewenang yang diberikan; dan/atau b. bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan.
Kemudian, pasal 18 ayat (3) menyebutkan “badan dan/atau pejabat pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (2) huruf c apabila keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan, a. tanpa dasar kewenangan; dan/atau b. bertentangan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”.
Menurut Basarah, jika mengacu pada ketentuan hukum tersebut, maka tindakan stafsus Presiden Jokowi tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) jo pasal 18 ayat (2) dan (3) UU RI No. 30/2014.
“Namun terlepas dari kekhilafannya mereka jujur meminta maaf mengakui kesalahan dan mengambil sikap mundur dari jabatan staf khusus. Ini merupakan sikap yang patut diapresiasi dan menjadi contoh bagi para pejabat yang melakukan ‘abuse of power’ harus rela mengundurkan diri,” katanya.(EP)