Indonesiainside.id, Jakarta – Politikus Gerindra, Fadli Zon berpandangan RUU HIP tidak akan bisa berjalan dan berlanjut karena pemerintah menunda dengan tidak mengirimkan surat presiden (Supres) atau dulu disebut amanat presiden (Ampres). Selain itu, banyak kelemahan dari RUU ini, mulai dari perspektif berpikir hingga naskah akademik.
“Kalau saya lihat, RUU ini KW3 ya di dalam persoalan pemahaman Pancasila. Bagi orang-orang yang membaca sejarah dan filosofi latar belakang lahirnya Pancasila, saya kira kengawuran di RUU HIP sangat nyata kalau dilihat dari beberapa hal,” ujarnya dalam diskusi di Indonesia Lawyers Club, Selasa (16/6) malam.
Pertama, Pancasila sebagai pemersatu bangsa dan konsensus. Menurut dia, diangkatnya RUU HIP, justru Pancasila akan menjadi potencial conflict, terlebih banyak pertentangan dari Ormas-ormas besar yang mempunyai basis massa besar dan kuat serta tokoh masyarakat.
“Jika demikian, Pancasila nantinya menjadi pintu masuk perpecahan, bukan persatuan. Apapun tendensi awal penyusunan RUU ini, jelas akan membuka kotak pandora yang sudah cukup lama ditutup,” katanya.
Masalah kedua dalam RUU HIP ada sentimen politik dan masalah substantif. Masalah sentimen politik ini terlihat dari RUU HIP yang mengabaikan TAP/MPRS 25/1966, padahal dalam kalimat pembuka TAP/MPRS ini menjelaskan bahwa faham komunisme itu bertentangan dengan Pancasila.
“Masa satu TAP/MPRS yang berlaku, tetapi tidak dicantumkan sebagai sebuah konsideran di dalam RUU HIP ini. Ini jelas menimbulkan kecurigaan, padahal TAP/MPRS masih berlaku dan ada norma nomor 27 tahun 1999 tentang ajaran komunisme,” ujar Fadli.
Ia menambahkan bahwa kaum PKI selalu ingin merubah Pancasila karena Pancasila dianggap tidak revulosioner. Mereka ingin mengganti dengan melakulan pemberontakan dan kudeta di tahun 1948 dan 1965.
“Undang-undang sebagai produk politik, seharusnya cukup sensitif bagaimana bagian ini tidak bisa dipisahkan dari memori kolektif kita, terutama memori kolektif ketika umat Islam menghadapi PKI kala itu,” tuturnya. (Aza)