Indonesiainside.id, Jakarta – Perombakan kabinet pemerintahan Jokowi – Ma’ruf Amin kali ini menimbulkan kejutan dan mengundang cukup banyak komentar dari sejumlah pengamat.
Perhatian publik tertuju pada masuknya Sandiaga Uno, pemilihan Yaqut sebagai menteri agama, dan batalnya pelantikan wakil menteri pendidikan nasional yang sedianya diisi oleh Sekretaris Umum Muhammadiyah Abdul Mu’thi.
Para pengamat yang dihubungi Anadolu Agency, pada Rabu, mengatakan pengangkatan enam menteri baru ini merekrut orang-orang profesional, sekaligus memperkuat koalisi pendukung pemerintahan.
Adapun pemilihan Ketua GP Anshor Yaqut Chalil Qoumas sebagai menteri agama mencerminkan keinginan presiden agar pemerintah bersikap tegas terhadap ormas radikal dan intoleran. Sikap tegas ini memang telah lama ditunjukkan oleh Yaqut.
“Momentum reshufle ini digunakan oleh Presiden untuk menunjukkan langkah eksplisit. pemerintah kembali fokus menghadapi isu radikalisme dan intoleransi, apalagi setelah kasus baru-baru ini setelah Rizieq Shihab kembali, maka penunjukkan Yaqut seperti warning bagi ormas radikal dan intoleran,” terang Ali Munhanif, guru besar ilmu politik yang juga Dekan FISIP UIN Syarif Hidayatullah, kepada Anadolu Agency, pada Rabu.
Namun, kata Munhanif, akan keliru jika Menteri Agama Yaqut Chalil Qoumas memahami tugas besarnya hanya memberantas radikalisme dan intoleransi. “Menag perlu memiliki peta yang lebih besar, untuk jangka panjang, yakni memperkaya penafsiran yang lebih luas terhadap interpretasi agama dan membuat warisan keadaban jangka panjang,” kata dia.
Misalnya, memperkuat lembaga pendidikan berbasis keagamaan, antara lain terus mengembangkan Universitas Islam Internasional Indonesia (UII), memajukan lembaga pendidikan di bawah Kemenag termasuk kemampuan para gurunya.”Dia harus berfikir strategis ke depan, dan saya kira dia perlu waktu untuk membuktikannya tiga atau enam bulan ke depan,” kata Munhanif.
The Indonesian Institute Center for Public Policy Research menilai perombakan kabinet diujung tahun ini merupakan ujian terhadap kepemimpinan Presiden Jokowi di periode kedua.
Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute Arfianto Purbolaksono mengatakan keenam menteri baru itu mengindikasikan keinginan Presiden untuk meraih dukungan partai koalisi pemerintahan dengan memilih Sandiaga.
Sandiaga Uno melengkapi Prabowo Subianto yang lebih dulu masuk kabinet Indonesia Maju. Keduanya adalah mantan rival Jokowi-Ma’ruf di Pilpres 2019.
“Solidnya dukungan partai memang menjadi poin penting bagi Jokowi untuk mengarungi pemerintahannya di periode keduanya ini. Dukungan di dalam pemerintahan dan parlemen diharapkan dapat menjaga stabilitas politik yang lebih baik,” kata Arfianto melalui keterangan resminya, pada Rabu.
Namun, kata dia patut juga diingat oleh Presiden Jokowi, hal ini akan menjadi ujian bagi kepemimpinannya.
“Karena semakin besar dukungan partai politik, hal ini juga akan membawa konsekuensi akan ada tarik menarik kepentingan yang lebih besar dari antar partai politik tersebut baik di dalam pemerintahan maupun di parlemen. Apalagi jika menghitung waktu menuju Pemilu 2024,” tambah dia.
Anto mengatakan merujuk pada hasil riset Transparansi Internasional Indonesia (TII), orientasi partai politik di Indonesia cenderung pada orientasi The Votes-Seeking Party atau partai yang lebih mengutamakan perolehan suara demi memenangkan pemilu dan menguasai pemerintahan.
Menurut dia, dukungan partai akan beriringan dengan kepentingannya untuk menuju kontestasi Pemilu 2024.
Di situlah periode kedua ini akan menjadi ujian bagi Presiden Jokowi di tengah lalu lalang kepentingan politik, menahkodai pemerintahan di tengah kondisi pandemi.
Apalagi mengingat Presiden Jokowi bukan seorang ketua umum atau dewan pembina dari sebuah partai politik, hal ini menjadi tantangan.
“Patut kita lihat apakah Presiden Jokowi dapat mengelola kepentingan politik di dalam pemerintahannya. Atau malah terjerat dengan sengkarut kepentingan politik di dalamnya,” tukas Anto.(EP/AA)