Indonesiainside.id, Jakarta – Pemerintah tidak perlu mencari di mana sumber-sumber yang menjatuhkan iklim demokrasi di Indonesia.
Menurut Direktur Eksekutif Moya Institut, Hery Sucipto, iklim demokrasi di Indonesia saat ini belum bisa dikatakan baik mengingat beberapa indikator yang kurang berjalan. Kondisi ini diperburuk dengan penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), maraknya tindak pidana korupsi, serta dinasti politik.
“Iklim demokrasi kita (di Indonesia) nyata-nya masih tampak buruk, seperti karena penerapan UU ITE. Belum lagi masalah adanya dinasti politik, perdebatan revisi UU Pemilu, tingginya korupsi,” tutur Hery , di Jakarta, Jumat (12/2).
Hery Sucipto mengatakan, bangsa Indonesia kerap menggaung-kan penegakan demokrasi dalam kehidupan sistem politiknya. Namun pada pelaksanaannya justru kontradiksi dengan cita-cita yang diinginkan tersebut.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia, Fahri Hamzah, menuturkan Indonesia dalam pelaksanaan demokrasi dan politiknya masih kental rasa kegamangannya. Akibatnya juga menimbulkan kebingungan dalam masyarakat.
Kekurangan lainnya dalam demokrasi Indonesia, kata Fahri yakni masih tingginya membuat konsep besar kebangsaan sehingga membuat perjalanan sejarah politik dan kepemimpinan kerap tersasar. “Paling gampangnya ingin membentuk akhir dari republik ini saja tidak tampak nyata, sehingga mudah tersasar,” ucap Fahri.
Selanjutnya, juru bicara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Faldo Maldini mengungkapkan kegusarannya bila negara ke depan terjebak dalam jeratan pemilik dana karena partai politik dan politikusnya tak mampu menyelesaikan masalah di masyarakat.
“Ketika negara tidak mampu lagi selesaikan masalah maka pendana tinggal kucurkan anggarannya sehingga negara tak dapat melepaskannya,” ujar Faldo.
Sedangkan Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan menyampaikan bahwa partai politik sangat memilki peranan dalam menjadikan demokrasi berkualitas. Menurut Djayadi, partai politik haruslah berhubugan erat dengan masyarakat dalam pikiran serta kebijakan.
“Negara harus tanggap terhadap persoalan masyarakat. Partai politik bagi masyarakat adalah jembatan aspirasi,” kata Djayadi.
Terakhir, pengamat politik internasional sekaligus mantan Diplomat senior, Imron Cotan, menuturkan dari waktu ke waktu Indonesia terus membutuhkan reformasi. Kendati begitu, kata Imron, ada kegamangan yang muncul.
“Masalahnya reformasi yang terjadi tidak merumuskan kontrak sosial baru, akhirnya ada kegamangan dalam kebangsaan kita,” ujar Imron.
Supaya kegamangan tersebut sirna, Imron menyarankan, dibuatnya konsep tatanan baru dalam reformasi yang sesuai dengan prinsip Pancasila. (Aza/Ant)