Indonesiainside.id, Jakarta – Mantan Wakil Presiden, Jusuf Kalla, mengatakan mantan ketua umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, tidak melanggar etika jika ia mengkritik pemerintah meski sebagai aparatur sipil negara (ASN).
Din sebagai akademisi menggunakan kapasitasnya dalam menyampaikan kritiknya kepada Pemerintah. “Ada ASN akademis dan inilah Pak Din di sini. Dia dosen dan dia kemudian mengkritik. Jadi itu bukan soal (pelanggaran) etika, itu adalah profesi. Dia menggunakan keilmuannya untuk membicarakan sesuatu, itu bukan (masalah) etika,” kata dia, dalam keterangannya di Jakarta, Senin (15/2).
Menurut JK, ASN terbagi menjadi dua kategori, yakni yang berada di struktur pemerintah dan di lingkungan akademis. ASN di pemerintahan itulah yang tidak boleh mengkritik pemerintah karena mereka berada di suatu stuktur pemerintahan.
Sementara dosen yang berstatus ASN, lanjut JK, boleh saja menggunakan kemampuan akademisnya untuk menyampaikan kritik selama caranya tidak melanggar peraturan dan undang-undang yang berlaku.
“Di UI, contoh saja Faisal Basri, dia khan selalu mengkritik pemerintah. Tidak apa-apa, dia profesional. Jadi bukan melanggar etika ASN. Kalau seorang dirjen (di suatu kementerian) mengkritik pemerintah, itu baru salah,” katanya.
Selain itu, dia juga mencontohkan ada kelompok-kelompok di universitas negeri yang menggaungkan gerakan antikorupsi. Menurut dia, kelompok akademisi yang menyampaikan kritik kepada pemerintah merupakan wajar dan diperlukan di negara demokratis seperti Indonesia.
“Bayangkan kalau tidak ada akademisi seperti itu, yang tidak membuka jalan alternatif; maka negeri ini bisa menjadi otoriter,” ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, kelompok yang mengatasnamakan Gerakan Anti-Radikalisme (GAR) yang berisikan alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) meminta Komisi Aparatur Sipil Negara menjatuhkan sanksi kepada Syamsuddin atas dugaan pelanggaran kode etik.
Tokoh kelahiran Pulau Sumbawa, NTB, saat ini tercatat sebagai dosen tetap di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah di Jakarta. (Aza/Ant)