Indonesiainside.id, Jakarta – Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Hinca Pandjaitan meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera bersikap mengenai kisruh di partainya akibat ulah Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko.
“Hari ini, Partai Demokrat dengan jutaan simpatisan dan kadernya menanti sikap bijak Pembina Politik Tertinggi di negara ini, yakni Presiden. Jika KSP bertingkah seperti itu, artinya pembinaan di internal istana juga bermasalah,” kata Hinca yang juga anggota Komisi III DPR RI ini, lewat Twitternya dipantau yang Indonesiainside.id, Ahad (7/3).
Menurut Hinca, memang ada pihak dari lingkar kekuasaan yang secara terang benderang telah melakukan praktik amoral ke dalam Partai Demokrat. Ini jelas bukan persoalan internal. Hal itu diungkap HInca menanggapi cuitan Menko Polhukam Mahfud MD.
Sebelumnya Mahfud menulis di Twitter, “Jadi sejak era Bu Mega, Pak SBY sampai dengan Pak Jokowi ini, Pemerintah tidak pernah melarang KLB atau Munaslub yang dianggap sempalan karena menghormati independensi parpol. Risikonya, Pemerintah dituding cuci tangan. Tapi kalau melarang atau mendorong bisa dituding intervensi, memecah belah, dan sebagainya.”
Hinca yang juga anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat kemudian menulis, “Contoh yang prof @mohmahfudmd berikan, seperti kisruh PKB. Saya sungguh menyayangkan bahwa kacamata seorang cendikiawan hukum tidak mampu membedakan kedua situasi ini.”
Partai Demokrat dibajak melalui kegiatan kongres luar biasa (KLB) yang mengatasnamakan Partai Demokrat. KLB ini sudah disetting jauh hari dan ditawarkan ke tokoh ekseternal untuk mendongkel Ketua Umum DPP Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Hal itu terungkap dari wawancara Podcast di Kanal Youtube Bang Arif, di mana mantan Panglima TNI Jenderal (purn) Gatot Nurmantyo mengisahkan dirinya pernah ditawari untuk mendongkel AHY.
Menurut Gatot, Demokrat partai besar. Siapa yang tidak mau menjadi ketua umumnya? Namun ada etikanya. Saat ditawari jabatan ketua umum Partai Demokrat dengan cara mencungkil AHY dan menggelar kongres luar biasa (KLB), Gatot langsung menolak.
“Saya bilang terima kasih, tetapi moral dan etika saya tidak bisa menerima dengan cara seperti itu. Akhirnya…. Saya bilang sudahlah, tidak usah bicara itu lagi,” katanya dalam rekaman wawancara video berdurasi 19.59 menit tersebut, Jumat (5/3).
Skenarionya tidak jauh beda dengan rentetan peristiwa yang dilalui Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko hingga digelarnya KLB di The Hill Hotel dan Resort Sibolangit, Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara (Sumut), Jumat (5/3).
Saat ditanya mengenai padangannya terhadap sikap dan penilaian publik terhadap Moeldoko yang mengambil alih Partai Demokrat, Gatot menolak berkomentar karena pada sesi wawancara itu, KLB di Deli Serdang belum digelar.
“Tetapi, banyak yang bertanya. Bapak juga digadang-gadang menjadi… (ketua umum)… Saya bilang, siapa sih yang tidak mau. Partai (Demokrat) dengan perolehan suara 8 persen, partai besar.. Ada juga yang datang sama saya.”
Respons Bapak? Cecar Bang Arief. “Datang… Bagaimana prosesnya? Nanti kita bikin KLB. KLB, terus bagaimana? Nanti yang dilakukan adalah kita mengganti AHY dulu, mosi tidak percaya, agar AHY turun. Setelah AHY turun baru kita pemilihan. Begini, bengini. Oh begitu ya,” kata Gatot.
Dia mengakui, menggantikan AHY dengan cara mencungkil, itu tidak mungkin. Terlebih lagi, kariernya di TNI tak lepas dari perhatian SBY. “Saya ini bisa naik bintang satu, bintang dua, tarolah itu biasalah. Tapi begitu saya naik bintang tiga, itu presiden pasti tahu, kemudian jabatan Pangkostrad, pasti presiden tahu. Apalagi presidennya tentara, waktu itu, tidak sembarangan. Bahkan saya Pangkostrad dipanggil Pak SBY ke Istana. (Kata SBY) Kamu saya akan jadikan Kepala Staf Angkatan Darat. Saya katakan terima kasih dan saya akan pertanggungjawabkan… (Kata SBY) Laksanakan tugasmu dengan profesional. Cintai prajurit dan keluarga seganap hati dan pikiran…”
Nah, katanya lagi, “Apakah iya, saya dibesarkan oleh dua presiden, yakni (Presiden) SBY dan (Presiden) Jokowi, terus saya membalasnya dengan mencongkel anaknya?” Itulah fakta yang diceritakan Gatot Nurmantyo. Dia tidak menyebut siapa orang yang mendatanginya, tetapi yang pasti, mengatasnamakan kader Partai Demoktrat. (Aza)