Indonesiainside.id, Jakarta – Fungsi Check and balances di DPR dinilai lebih efektif jika diperankan oleh partai politik yang berada di luar koalisi pendukung pemerintah. Namun, menjadi partai oposisi di DPR, tidak sekadar beda dengan pemerintah.
Direktur SMRC Saiful Mujani mengatakan, pada periode pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi), check and balances dapat diperankan oleh Partai Gerindra, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Kekuatan partai oposisi di parlemen sekitar 30 persen. Fungsi check and balances yang diperankan saat itu sudah lumayan.
Namun, pada periode kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini, Partai Gerindra dan Prabowo Subianto yang menjadi lawan utama di Pilpres 2014 dan 2019, takluk pada pemerintah dengan imbalan dua jabatan menteri. “Ini kejadian politik langka di kolong langit. yang di luar pemerintah tinggal PKS dan Partai Demokrat,” katanya lewat Twitter, Sabtu (13/3).
Dia menjelaskan, yang membedakan demokrasi dengan sistem yang lain adalah adanya check and balances antara legislatif dan eksekutif, atau antara DPR dan pemerintah. Dia mengibaratkan seperti rem dan gas. DPR seperti rem mobil yang bisa menjaga agar pemerintah berjalan terarah, tidak menabrak sana-sini agar program sesui dengan yang telah disepakati.
“Check and balances itu mensyaratkan ada kekuatan DPR yang otonom atau independen dari pemerintah. Idependensi itu terkait dengan apakah partai yang punya wakil di DPR itu anggota koalisi pemerintah atau tidak,” kata Saiful Mujani.
Menurut dia, fungsi kontrol dari DPR tidak harus menjadi partai oposisi. Bisa saja anggota koalisi juga berperan untuk fungsi check and balances atau kontrol pemerintah. Namun, dalam praktiknya tidak mudah karena partai pendukung pemerintah tidak cukup independen.
“Maka check and balances itu lebih bisa diperankan oleh partai yang berada di luar koalisi,” kata dia.
Adapun kekuatan partai di DPR yang di luar koalisi tidak mesti mayoritas tapi harus cukup besar. Alasannya, jika mayoritas dan kuat sekali, malah bisa menghambat roda pemerintahan sehingga tidak jalan atau deadlock. “Cukuplah misalnya 40-45 persen anggota DPR dari partai bukan pendukung pemerintah,” katanya.
Soal jumlah, Saiful Mujani menegaskan, memang tidak ada aturan berapa banyak partai yang dibolehkan menjadi anggota koalisi pemerintah. Jika mampu merangkul semua, pemerintah bisa saja mengajak semua partai menjadi anggota koalisi. Namun, kondisi ini justru bisa membuat check and balances lemah atau bahkan mati. Karena itu, harus dipikirkan agar ada aturan yang mengatur hal tersebut.
“Pada masa Presiden Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), tidak ada partai yang jelas oposisi, tapi Golkar yang berkekuatan di DPR sekitar 25 persen cukup berperan untuk menjadi motor check and balances itu. Pada masa Presiden Megawati juga tidak cukup jelas partai oposisinya kecuali PKB,” katanya.
Sementara pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kekuatan check and balances diperankan oleh PDIP, Partai Gerindra, dan Partai Hanura. kekuatan mereka sekitar 30 persen di DPR. Posisi tersebut lumayan kuat untuk mengontrol pemerintah.
“Kasus yang menonjol adalah interpelasi Bank Century. Juga berseberangan soal UU Pilkada antara DPR dan Presiden,” katanya. (Aza)