Indonesiainside.id, Jakarta – Gubernur DKI Jakarta Ridwan Kamil menyarankan politisi PDIP Arteria Dahlan untuk meminta maaf kepada masyarakat Sunda. Hal ini setelah pernyataannya dalam rapat dengan Kejaksaan Agung viral di media sosial.
Kala itu Arteria menyebutkan kepada Kejagung bahwa ada salah seorang Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) yang menggunakan bahasa Sunda dalam rapat resmi. Dia menyarankan agar pejabat itu diganti saja.
“Searifnya Bang Arteria meminta maaf kepada masyarakat #Sunda. Negeri ini sudah lelah dengan pertengkaran,” ungkap Kang Emil dalam Twitternya, dikutip Rabu (19/1).
Emil menambahkan, Nusantara ini kaya karena perbedaan, termasuk bahasa.
“Jika tidak nyaman silakan sampaikan keberatan, namun minta pemecatan jabatan menurut saya itu berlebihan. Mari Jaga persatuan,” tegasnya.
Dirinya mengimbau Arteria Dahlan sebaiknya segera meminta maaf kepada masyarakat Sunda di nusantara ini. Karena, kalau tidak dilakukan, dikhawatirkan akan memicu eskalasi.
“Pasti akan bereskalasi. Sebenarnya orang Sunda itu pemaaf ya, jadi saya berharap itu dilakukan,” ujar Ridwan Kamil.
Menurut Emil, ada dua jenis masyarakat dalam melihat perbedaan. Pertama, ada yang melihat perbedaan itu sebagai kekayaan atau sebagai rahmat. Ia berharap mayoritas warga melihat perbedaan dengan cara ini. Kelompok kedua, ada yang melihat perbedaan sebagai sumber kebencian dan itu yang harus dilawan.
“Jadi saya menyesalkan statement dari Pak Arteria Dahlan terkait masalah bahasa ya, yang ada ratusan tahun atau ribuan tahun, menjadi kekayaan nusantara ini,” katanya.
Ketidaknyamanan Arteria dengan penggunaan bahasa Sunda cukup perlu disampaikan secara sederhana. Karena kalau sampai mencopot jabatan, terlalu berlebihan.
“Tidak ada dasar hukum yang jelas dan saya amati ini menyinggung banyak pihak warga Sunda di mana-mana. Saya sudah cek ke mana-mana. Saya kira tidak ada di rapat yang sifatnya formal dari A sampai Z-nya Bahasa Sunda,” katanya.
Biasanya, kata dia, bahasa daerah diucapkan hanya pada momen tertentu seperti ucapan selamat, pembuka pidato atau penutup pidato, atau di tengah-tengah saat ada celetukan.
Bahasa daerah, menurut Kang Emil, akan mewarnai penuturan dalam berbagai kesempatan yang mencirikan kekayaan dan keberagaman Indonesia. “Makanya Pancasila, Bhineka Tunggal Ika itu mewakili semangat itu. Jadi kalau ada yang rasis seperti itu menurut saya harus diingatkan tentunya dengan baik-baik dululah,” katanya.
Apalagi Ketua DPR Puan Maharani dalam baliho yang terpasang dimana-mana muncul narasi ‘Kepak Sayap Kebhinekaan’.(Nto)