Indonesiainside.id, Jakarta – Pimpinan Pusat (PP) ‘Aisyiyah menyambut positif pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (12/4/2022) lalu. Sejak dalam pembahasan, ‘Aisyiyah sudah ikut berperan memberikan masukan secara detail dalam RUU tersebut.
Masukan-masukan dari ‘Aisyiyah diterima dengan baik oleh DPR dan pemerintah hingga disahkan menjadi UU sebagai payung hukum dalam upaya melindungi hak-hak korban kekerasan seksual. Masukan ‘Aisyiyah bahkan disebut sebagai gong atas berbagai masukan bagi RUU TPKS. ‘Aisyiyah berharap disahkannya UU TPKS tersebut memberikan perlindungan hukum kepada korban-korban kekerasan seksual karena selama ini belum ada payung hukum yang betul-betul melindungi korban kekerasan seksual.
“Perlindungan terhadap hak bagi korban kekerasan seksual dapat lebih terjamin dengan adanya UU ini, baik dari sisi pendampingan, restitusi, rehabilitasi, maupun pemulihan yang semuanya itu ada di UU TPKS ini dan itu secara jelas semakin menguatkan perlindungan kepada korban-korban kekerasan seksual,” kata Sekretaris PP ‘Aisyiyah, dilansir Muhammadiyah.or.id, Kamis (14/4/2022).
Tri mengungkapkan, ‘Aisyiyah turut mengawal dalam proses penyusunan RUU TPKS ini. ‘Aisyiyah secara intens melakukan pembahasan draf RUU TPKS ini sejak awal hingga satu tahun terakhir. ‘Aisyiyah membahas mulai dari pasal per pasal kemudian landasan sosiologisnya, tinjauan akademisnya, semua sisi kita pelajari kemudian dari situ kita memberikan masukan terhadap pasal-pasal yang ada di draf RUU TPKS.
“Masukan tersebut mulai dari isu tentang definisi yang waktu itu kita usulkan tidak perlu didefinisikan tetapi dimasukan dalam unsur-unsur pidananya, kemudian terkait dengan rehabilitasi dan restitusi termasuk bagaimana pelaporan itu tidak dibatasi waktu dan peran aktif Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, itu menjadi beberapa usulan kami beserta banyak catatan lain yang kami berikan dalam rangka menguatkan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual,” papar Tri.
Tri menyebut bahwa usulannya disampaikan secara tertulis kepada DPR dan pemerintah. Kemudian ‘Aisyiyah diberikan kesempatan oleh ketua panja untuk menyampaikan masukan secara lisan pada saat pembahasan DIM (Daftar Isian Masalah) yang waktu itu sedang didiskusikan.
Tri berharap dengan disahkannya UU TPKS ini dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku kekerasan seksual serta memaksimalkan perlindungan kepada para korban kekerasan seksual. Namun demikian, dengan telah disahkannya UU TPKS ini bukan berarti kerja-kerja untuk penanganan dan pencegahan kekerasan seksual berakhir.
‘Aisyiyah sebagai organisasi perempuan muslim berkemajuan sejak awal berdirinya telah menunjukkan komitmen terhadap pencegahan kekerasan seksual. “Saat ini ‘Aisyiyah telah memiliki 31 posbakum untuk melakukan pendampingan kepada korban baik secara litigasi maupun non litigasi, selain itu juga peran edukasi, dan peran pencegahan, semua itu akan semakin kuat dengan adanya payung hukum UU TPKS ini,” jelasnya.
Ke depan, ‘Aisyiyah melalui paralegalnya akan turut mensosialisasikan UU TPKS ini. Tri menyebutkan pasca sebuah UU sudah disahkan, maka sosialisasi harus digencarkan agar masyarakat memahaminya. Ia menyebutkan sebuah contoh nyata bahwa UU KDRT yang sudah disahkan di tahun 2014 masih sangat minim diketahui oleh masyarakat.
“Sering kali salah satu problem setelah disahkannya UU adalah terkait sosialisasi, UU KDRT sudah sejak 2014 ditetapkan tetapi kalau kita ketemu ibu-ibu di komunitas banyak yang tidak mengetahui perlindungan bagi perempuan yang mengalami KDRT, maka saya yakin hal yang sama juga akan terjadi di UU TPKS ini, oleh karena itu ‘Aisyiyah akan mengambil peran-peran ini untuk melakukan sosialisasi bahwa untuk pencegahan dan perlindungan kekerasan seksual itu negara ini sudah memiliki payung hukumnya,” katanya. (Aza)