Oleh: Ahmad Z.R |
Kubu petahana mengklaim memenangkan debat kedua.
Indonesiainside.id, Jakarta — Pengamat politik Toni Rosyid mengatakan bahwa debat tidak dapat dijadikan sebagai penentu kemenangan suatu calon dalam sebuah kontestasi. Begitupun dengan debat pemilihan presiden (pilpres) kedua pada 17 Februari lalu, tidak dapat dijadikan ukuran kemenangan salah satu kubu.
Hal itu diutarakan Toni merespon berbagai pernyataan yang mengatakan bahwa kubu petahana memenangkan debat kedua dengan skor tertentu meskipun banyak mendapatkan kritik tentang validitas data yang disampaikan.
“Dalam debat kemarin, Pak Prabowo sampai enam kali mengkonfirmasi pernyataan 01. Kemudian dua kali menyatakan ‘untuk apa berdebat kalau sudah tidak ada perbedaan’ dan satu kali diserang sekaligus mengkonfirmasi hal tersebut. Setidaknya tiga indikator ini yang membuat 01 merasa benar,” kata Toni dalam diskusi di Sekretariat Nasional (Seknas) Prabowo-Sandi, Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (26/2).
Namun, hal itu tidak dapat dijadikan acuan kemenangan dalam Pilpres. Ia mencontohkan ketika capres Amerika Serikat Donald Trump dalam debat cenderung menyerang dan akhirnya menang, hal itu tidak berlaku untuk pemilih di Indonesia.
“Sebab, rata-rata masyarakat kita lebih mengedepankan aspek sosiologis dan psikologis daripada rasional. Seperti pada Pilkada DKI Jakarta dimana awalnya AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) melesat naik, namun dapat dikalahkan oleh Anies karena kemampuan narasi dan magnitude yang mampu menghipnotis masyarakat Jakarta,” kata dia.
“Artinya, di Indonesia ini preferensi sosiologis dan psikologis lebih banyak daripada preferensi rasional. Sehingga, siapapun yang menang dalam debat tidak linear menang pilpres,” imbuhnya.
Hal lain, jelas Toni, yang menunjukkan ketidakpiawaian petahana dalam debat lalu ialah banyaknya media mainstream yang kini mulai terang-terangan mengkritik data-data yang dipaparkan.
“Dalam konteks ini, 02 memenangkan pertarungan pasca-debat. Secara sosiologis, ketika ada paslon menghina paslon lain dalam debat, berarti sudah selesai. Namun yang paling menentukan adalah pertarungan pasca debat,” ujarnya.
“Kenapa itu terjadi, dalam debat, 02 mampu memenangkan hati pemilih. Bukan siapa yang gagah-gagahan, tetapi siapa yang mampu mengambil simpati dan empati pemilih. Itu luar biasa. Seperti Pilkada 2012 lalu, kenapa Jokowi menang karena tidak ada variabel lain yang mampu menandingi dirinya memenangkan hati rakyat,” sambungnya.
Menurut dia, ada tiga faktor yang membuat Jokowi terus menyerang Prabowo dalam debat. Pertama, ia dianggap kurang menguasai masalah.
“Seperti data-data itu kan merupakan suatu yang mudah diakses. Tapi kenapa masih bisa terjadi kesalahan. Ini menjadi evaluasi tim internalnya,” ujarnya.
Kedua, Jokowi kurang memiliki jiwa dan karakter kepemimpinan yang tegas dan kuat. Indikasi itu terlihat dari beberapa menteri yang memiliki perbedaan cara pandang dan pengambilan kebijakan. Terlebih, banyak keputusan Jokowi yang diralat sendiri oleh menterinya.
“Tidak ada sebuah narasi yang menguatkan keputusan-keputusan kebijakan itu. Kalau ada argumentasi yang menguatkan narasi, itu merupakan hal yang luar biasa,” jelasnya.
Hal ketiga adalah terdapat dugaan bahwa Presiden Jokowi bukan menjadi pengendali dalam jalannya pemerintahan. Alasannya, banyak hal-hal blunder yang terus diciptakan oleh orang-orang terdekatnya.
“Dan ketika kita lihat dalam tim 01, ada ketidakseragaman dalam kerja-kerjanya. Masing-masing memberikan kontribusi untuk menciptakan blunder. Kalau ini tidak diselesaikan, ini berbahaya. Sekarang terbukti, elektabilitas terus turun. Padahal, jika mampu dikalkulasi sejak awal, sebenarnya hal itu tidak perlu terjadi,” tandasnya. (TA)