Dini hari 10 April 2022 lalu, di Praya, Lombok Tengah, NTB, Murtede alias Amaq Sinta, mengantar makanan ke rumah ibunya. Di tengah jalan, ia dikuntit lalu dibegal oleh 4 orang. Terjadi perlawanan. Dua orang begal roboh dan mati di tempat, 2 lagi luka-luka.
Oleh Polres Lombok Tengah, Amaq bersama dengan 2 orang begal yang selamat, ditetapkan sebagai tersangka. Jika yang ditersangkakan itu adalah si pembegal, kita maklum. Tetapi ini, si Amaq yang dibegal lalu melawan dan menang, malah ditahan. Kontroversi terjadi di tengah- tengah masyaraat.
Belakangan, kasus ini diambil-alih oleh Polda NTB. Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto meminta Polda NTB untuk menghentikan kasus Amaq Sinta yang ditetapkan sebagai tersangka. Menurut Agus, “Penyetopan kasus ini perlu dilakukan agar masyarakat tidak takut untuk melawan kejahatan.”
Pertanyaannya, apakah yang dilakukan oleh Amaq itu termasuk perbuatan Vigilantisme (main hakim sendiri)?
Melawan begal itu wajib. Karena ini bentuk pembelaan diri. Jika tidak dilawan, taruhannya bisa nyawa kita yang melayang. Tetapi persoalannya, jika seseorang keluar rumah dengan membawa senjata tajam, apakah dibenarkan secara hukum? Tentu saja ada sebab mengapa seseorang membawa senjata tajam? Bisa jadi karena daerah yang hendak ia lalui memang rawan, sementara aparat keamanan tidak bisa menjamin keamanan warga secara penuh.
Oleh sebab itu, agar kasus ini terang benderang, sebaiknya Amaq Sinta diproses secara hukum. Nanti, jika hakim berkesimpulan bahwa Amaq Sinta benar-benar membela diri, maka ia bisa dibebaskan dari segala tuduhan.
Hal ini lebih adil. Dan keadilan harus ditegakkan.