Di balik tetes-tetes hujan, rupanya ada malaikat yang sedang menjalankan tugasnya. Mereka bertasbih mengagungkan perintah Allah.
Di tangan merekalah tugas penurunan hujan sekaligus petir dan kilatnya. Mengenai petugas penurun hujan di kalangan malaikat, di dalam hadits disebutkan dengan cukup gamblang. Ahmad meriwayatkan dalam kitab Musnad-nya. Dikisahkan bahwa ada orang Yahudi di Madinah yang ingin menguji kenabian Muhammad SAW dengan lima perkara.
Salah satu yang ditanyakan adalah Mikail. Nabi menjawab, “Dia yang menurunkan rahmat, tumbuh-tumbuhan dan hujan.” Dengan demikian, jelaslah bahwa yang bertugas menurunkan hujan adalah Malaikat Mikail.
Malaikat petugas hujan mengatur pergerakan awan hingga terjadi hujan pun diterangkan dalam hadits. Menurut riwayat Tirmidzi, petir merupakan di antara malaikat yang diberi tugas untuk menangani masalah awan. Ia memiliki pengoyak dari api yang bisa memindahkan awan sesuai dengan kehendaki Allah.
Merekalah yang diberi wewenang oleh Allah untuk mengatur hujan berikut yang terkait dengannya. Kadang hujan bisa turun di seluruh negeri. Di waktu lain hanya di beberapa daerah. Bahkan bisa juga hanya pada wilayah tertentu yang sangat kecil sesuai dengan perintah Allah.
Muslim meriwayatkan bahwa Nabi berkisah: suatu hari ada orang yang mendengar suara dari langit yang berawan. Suara itu berbunyi, “Turunkan hujan di kebun si fulan!” Ketika diikuti lokasi turunnya hujan berikut aliran airnya, rupanya mengarah pada kebun seorang petani.
Ia pun penasaran, mengapa petani itu mendapatkan kemuliaan seperti itu. Jawabannya sangat menarik, “Sepertiga aku sedekahkan, sepertiganya untuk aku makan dengan keluargaku, sepertiganya lagi aku kembalikan (untuk modal).”
Dari beberapa keterangan hadits tadi, nyatalah bahwa hujan bukan sekadar fenomena alam biasa yang berjalan sendiri tanpa ada yang mengaturnya. Secara umum yang ditugaskan untuk menanganinya adalah malaikat Mikail.
Hujan bisa menjadi rahmat atau rezeki atau juga azab; sesuai dengan perintah Allah. Karena itulah, ketika turun hujan umat Islam dianjurkan untuk berdoa yang baik agar hujan yang turun menjadi rahmat bukan azab.
Mengapa demikian? Nabi sendiri suatu ketika saat lihat awan hendak menurunkan hujan, beliau terlihat khawatir. Ketika ditanya Aisyah, beliau menjawab: khawatir akan terjadi hujan azab yang pernah diturunkan pada umat terdahulu. Ini artinya, hujan bisa menjadi azab.
Ini persis seperti yang dikisahkan dalam surah Al-Ahqaf ayat 24-25, terkait cerita kaum Nabi Hud yang ingkar. Saat mereka melihat awan tebal menaungi lembah mereka, dikiranya sebagai awan yang hendak menurunkan hujan. Ternyata itu berisi angin yang siap menimpakan azab yang pedih.
Karena itu, sekali lagi, mari menjaga adab ketika turun hujan. Tidak mencelanya apa lagi menuduhnya biang banjir. Mereka hanya menjalankan sunnatullah. Jika terjadi musibah seperti banjir, manusia dari berbagai lapisannya perlu evaluasi diri; bisa jadi itu adalah bagian dari kekhilafan manusia. Wallahu a’lam. (Aza)