Pada tahun 654 H, Baghdad ditimpa bencana. Banjir melanda seantero negeri. Cerita ini dicatat oleh Ibnu Katsir dalam buku “Al-Bidaayah wa Al-Nihaayah” (1986: XIII/189).
Bersumber dari Syihabuddin Abu Syamah bahwa beliau menceritakan surat yang ditulis oleh Bani Al-Fasyani. Di situ ditulis bahwa pada bulan Jumadil Akhir, mereka didatangai tokoh-tokoh Irak. Mereka bercerita bahwa Bahgdad sedang dilanda musibah banjir besar; hingga air tumpah dari atas dinding kota Baghdad.
Banjir besar ini menelan banyak korban. Banyak yang hanyut serta tenggelam akibat musibah ini.
Beberapa data kerugian yang ada di antaranya: air masuk ke istana di pusat kota, rumah menteri berikut 380 rumah lainnya hancur dan menyisakan gudang khalifah. Demikian juga dudang senjata; tak luput dari terjangan banjir besar.
Kala itu orang-orang menghadapi kehancuran. Perahu kembali dioperasikan di pusat kota. Pemandangan kita Baghdad hacur lebur.
Pada malam Rabu 3 Jumadil Akhir dan semenjak dua hari sebelumnya, orang-orang dikagetkan dengan suara petir. Banyak yang panik dengan kejadian ini.
Pada Shubuh hari Jumat, orang dikagetkan dengan musibah lain yaitu gempa yang sangat hebat yang membuat menara masjid goyang. Sontak hal ini membuat orang semakin ketakutan.
Menyaksikan kondisi ini, apa yang dilakukan oleh muslimin pada waktu itu? Demikian penjelasan Abu Syamah.
Pertama:
وَضَجَّ النَّاسُ بِالِاسْتِغْفَارِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى
Suara orang kala itu bergemuruh mengucapkan istighfar (permohonan ampunan) kepada Allah ta’ala.
Kedua:
وَفَزِعُوا إِلَى الْمَسْجِدِ وَصَلَّوْا فِيهِ
Mereka segera menuju masjid dan menunaikan shalat di dalamnya.
Ketiga:
وَأَقَرُّوا بِذُنُوبِهِمْ وَابْتَهَلُوا إِلَى اللَّهِ تَعَالَى وَاسْتَجَارُوا بِنَبِيِّهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ، وَأَتَى النَّاسُ إِلَى الْمَسْجِدِ مِنْ كُلِّ فَجٍّ وَمِنَ النَّخْلِ، وَخَرَجَ النِّسَاءُ مِنَ الْبُيُوتِ وَالصِّبْيَانُ، وَاجْتَمَعُوا كُلُّهُمْ وَأَخْلَصُوا إِلَى اللَّهِ
Mereka mengakui dosa-dosa, segera berdoa dan bermunajat kepada Allah Ta’ala, meminta perlindungan Nabi, semua berbondong-bondong menuju masjid dari kalangan wanita dan anak-anak. Semuanya berkumpul dan mengikhlaskan niat karena Allah Ta’ala. Kata kuncinya, mereka bertaubat.
Dari kisah ini, ada banyak pelajaran menarik bagi muslim.
Pertama, ketika banjir menimpa yang diingat pertama kali adalah kesalahan dan dosa diri, bukan mengkambing-hitamkan orang lain. Karena, bagi muslim, apa yang menimpa dirinya, kebanyakan terkait erat dengan perilaku manusianya.
Kedua, segera kembali kepada Allah dengan istighfar dan taubat. Segala kekayaan milik manusia sejatinya milik Allah. Maka tidak perlu disombongkan. Ketika banjir melanda, harta-harta itu bisa sirna.
Ketiga, bersama-sama saling menguatkan dan membantu; bukan mencari kesempatan untuk menyukseskan kepentingan pribadi atau golongan tertentu. (Aza)