Amal seseorang itu tergantung niatnya. Tetapi ganjaran dari amalan bisa lebih besar dari yang dibayangkan oleh manusia. Membangun masjid di dunia sama halnya dengan investasi membangun rumah di surga.
Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda, “Siapa yang membangun masjid untuk mencari keridhaan Allah Subhanahu Wata’ala, niscaya Allah Subhanahu Wata’ala akan membangunkan rumah baginya di surga.” Pada riwayat yang lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Allah Subhanahu Wata’ala akan membangunkan bangunan serupa di surga baginya.” (Muttafaq alaih).
Hanya dengan niat karena Allah, maka ridha Allah akan didapat. Adalah Imam al-Bazzar, Thabrani, Ibnu Majah, dan Ahmad mengeluarkan hadits, “Siapa yang membangun sebuah masjid karena Allah Subhanahu Wata’ala, meskipun hanya sebesar sarang burung, niscaya Allah Subhanahu Wata’ala akan membangunkan sebuah rumah di surga baginya.”
Menurut penulis kitab Fathul Baari, Ibnu Hajar Al-Asqolani, mayoritas ulama memberi penekanan pada perintah membangun masjid. Sebab, sarang burung yang hanya bisa dipakai menaruh telur dan untuk tidur itu tidak mungkin bisa dipakai untuk shalat. Untuk sujud pun tidak akan memadai.
Adapun makna sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “man banaa masjidan lillahi”(Siapa yang membangun masjid karena Allah), adalah semata-mata ikhlas karena Allah. Ibnu Jauzi, begitu kata Ibnu Hajar, pernah mengeluarkan pernyataan, “Barang siapa yang menuliskan namanya pada masjid yang telah dibangunnya, berarti orang tersebut jauh dari sifat ikhlas.” Kita lihat sekarang ini, jamak terjadi, mereka yang membangun masjid secara pribadi atau keluarganya, tidak jarang menamai masjid, atau menara yang dibuat, atau ruang-ruang yang ada di dalam masjid, memakai nama-nama keluarga yang membangun tersebut.
Dan, membangun masjid mesti didasarkan atas taqwa. Inilah yang ditauladankan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tatkala hijrah dari Mekkah ke Madinah, Juni tahun 622 M. Ketika Madinah sudah dekat, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bermalam selama 3 hari di Quba, di wilayah Bani ‘Amr bin ‘Auf. Yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para Sahabat adalah membangun Masjid Quba, yang berjarak 3,25 Km dari pusat Kota Madinah. Sesampainya di Madinah, yang dibangun pertama kali oleh Baginda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga masjid, yang sekarang dikenal dengan Masjid Nabawi, itu.
Abu Dawud juga mengeluarkan hadits yang dinarasikan oleh Ibnu Abas radhiyallahu anhuma, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Aku tidak diperintah untuk mempermegah bangunan masjid’.” Dalam hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari, Sahabat Ibnu Abas radhiyallahu anhuma menarasikan, “Kalian benar-benar akan memperindah masjid sebagaimana orang Yahudi dan nasrani memperindah(rumah ibadah mereka).”
Makna mempermegah bangunan masjid di sini adalah memperlebar dan meninggikan bangunan masjid jauh dari kapasitas yang dibutuhkan oleh jamaah. Ada unsur berlebih-lebihan di sini. Adapun makna memperindah disini berupa memasang pernak-pernik di dalam masjid, baik berupa lukisan, kaligrafi, maupun pernak-pernik dari marmer yang membuat jamaah bisa terganggu kekhusyukannya ketika melaksanakan shalat. Juga dinding-dinding atau kubah yang dilapisi emas.
Mari kita simak hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim ini, “Umar radhiyallahu anhu telah memerintahkan membangun masjid dan dia berkata: Buatlah atap supaya manusia terlindung dari hujan dan jauhilah memberi warna merah atau kuning karena yang demikian ini bisa menganggu orang(ketika mengerjakan shalat).” Ucapan Umar tersebut sejalan dengan tindakan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika beliau menerima hadiah berupa pakaian dari Abu Jahm dan pakaian itu dikembalikan seraya beliau bersabda, “Sesungguhnya pakaian ini mengganggu aku ketika shalat.” (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Menyimak pemaparan hadits-hadits tersebut diatas, kita mesti mengapresiasinya dengan makna kekinian. Tidak mengapa memperluas dan meninggikan masjid jika memang itu diprediksi akan mampu menampung jamaah untuk sekian tahun ke depan. Juga, bermewah-mewahan itu ukurannya adalah lingkungan setempat. Jika di lingkungan tersebut rumah-rumah masih berdinding gedhek dan beratap rumbai, tidaklah tepat jika masjid dibangun dengan dinding marmer dari Itali, dinding atau kubah berlapis emas, dan seterusnya. (HMJ)