Ketika seseorang senang saat saudaranya senang, itu adalah pengejawantahan cinta. Sebaliknya, dia akan sedih jika saudaranya sedih.
Bahkan, akan marah jika saudaranya marah. Namun, semuanya dalam bingkai Islam dan iman, bukan hawa nafsu.
Hadits “Arba’in” Imam An-Nawawi yang ke-13, membicarakan tentang indikator kesempurnaan iman dari pancaran cinta.
Berikut redaksi haditsnya:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ، حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Salah satu dari kalian tidak (disebut) beriman (secara sempurna), hingga mencintai untuk saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri.”
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim. Demikian juga Tirmidzi dan Nasa’i, dan masih ada yang lainnya. Diriwayatkan dari sahabat yang bernama Anas bin Malik atau Abu Hamzah. Anas ini termasuk sahabat yang banyak meriwayatkan hadits.
Secara umum, hadits ini menjelaskan bahwa di antara kesempurnaan iman adalah ketika orang beriman mencintai saudara (seiman) sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Artinya, orang beriman itu cinta, peduli dan perhatian kepada saudaranya.
Ulama besar Ibnu Daqiq Al-‘Id dalam buku syarah Arba’in (2003: 64) menyebutkan, salah satu pelajaran penting dari hadits ini: “Mukmin yang satu dengan yang lain seperti satu jiwa atau tubuh. Maka masing-masing harus mencintai yang lain sebagaiman ia mencintai diri sendiri karena satu sama lain tidak terpisah.”
Sementara itu, Syekh Utsaimin mencatat pelajaran lain yang tak kalah menarik. Bahwa hadits ini sebagai peringatan agar menjauhkan diri dari hasad (dengki). Karena orang dengki tidak akan suka kepada saudaranya sebagaimana yang dicintainya.
Kalau penulis menambahkan bahwa hadits ini menggambarkan bahwa keimanan itu bertingkat-tingkat. Mukmin yang baik adalah yang selalu berusaha meningkatkan keimanannya hingga sempurna.
Tidak kalah penting dari itu, persaudaraan dalam bingkai iman, adalah persaudaraan yang mulia. Sebab, di sini disandingkan katau saudara dan iman. Hubungan persaudaraan iman ini bukan saja lintas dunia tapi juga akhirat. (Aza)