Pada bulan Ramadhan, ada seorang budak mendatangi Hasan Bashri (21-110 H). Waktu itu, ia meminta agar ulama besar ini menyampaikan fatwa tentang pentingnya membebaskan budak.
Ternyata, Hasan Bashri tidak memenuhi permintaannya. Budak itu tidak mau menyerah, dia minta untuk yang kedua hingga ketiga kalinya. Jawabannya nihil. Ia tak kunjung mendapat jawaban.
Pada tahun berikutnya, di suatu majelis Ramadhan, Hasan Bashri dengan sangat bijak dan bagus menyampaikan pentingnya membebaskan budak.
Tak hanya di lisan, nasihat itu dibuktikan dalam kenyataan. Setiap kali ada budak yang hadir, ia bebaskan dengan segera memakai uangnya sendiri.
Budak yang pada tahun berikutnya meminta fatwa, pada waktu itu juga turut hadir. Dia terlihat penasaran, mengapa ketika tahun lalu dia minta, tidak direspons.
Tapi tahun ini tanpa diminta langsung membebaskan budak. “Wahai Imam. Apa mesti menungguh waktu satu tahun, untuk memenuhi permohonanku? Baru Anda mengeluarkan fatwa.”
Jawaban Hasan Bashri: “Dulu, sewaktu kamu memintaku berfatwa, saat itu kondisiku fakir. Setelah aku punya cukup uang untuk membebaskan budak, baru kemudian aku memberi nasihat kepada orang mengenai pentingnya membebaskan budak.”
Kisah singkat ini mengandung beberapa pelajaran. Pertama, nasihat yang sampai ke hati adalah dari contoh yang dilakukan sendiri.
Kedua, nasihat dengan keteladanan lebih mengena daripada sekadar lisan. Ketiga, dai itu bukan sekadar tukang penyampai ilmu, tapi pengamal ilmu. Ia akan malu menasihati orang, jika diri sendiri terabaikan. (Aza)