“Bagaimana mungkin aku tidak membenarkanmu pada masalah ini sedangkan aku membenarkanmu pada masalah (yang lebih besar dari ini) yaitu berita dari langit (wahyu dari Allah ta`ala).”
Demikian pernyataan Huzaimah bin Tsabit ketika memberi kesaksian pada Nabi Muhammad bahwa beliau benar-benar membeli kuda dari seorang pedagang kuda yang mungkir meminta saksi.
Kronologinya demikian. Suatu hari, Nabi sedang melakukan tawar-menawar dengan seorang penjual kuda, dan telah terjadi kesepakatan bahwa nabi akan membelinya. Setelah transaksi telah disepakati, penjual kuda ini tidak segera memutuskan menjual sembari menunggu pembeli lain.
Akhirnya ada pembeli lain yang tertarik, dan mau membelinya. Sewaktu sudah mau membeli kuda, Rasulullah menyangkal penjual kuda: “Bukankan kuda sudah saya beli dan tinggal memberi ongkosnya?”. Penjual kuda berkilah: “Tunjukkan siapa saksimu jika kamu memang benar”.
Nabi menjawab: “Celaka kamu, siapa yang lebih benar dari Nabi?”. Melihat keributan itu masyarakat pada mengerumuni Nabi. Ada sahabat yang bernama Huzaimah bin Tsabit Ra yang langsung bersaksi bahwa Nabi benar-benar membeli kuda dari pedagang kuda. Ketika ditanya kenapa kamu bersaksi demikan padahal waktu terjadi transaksi kamu tidak ada disini?
Kemudian Huzaimah bin Tsabit menjawab dengan jawaban seperti di atas. Sejak saat itu kesaksian seorang Huzaimah bin Tsabit ditetapkan sebagai dua kesaksian. Maksudnya, kesaksian seorang Huzaimah bernilai ganda atau dobel.
Kesaksian ganda yang ditetapkan Nabi terhadap Huzaimah, benar-benar diterapkan oleh para sahabat. Ketika terjadi pengumpulan al-Qur`an, Zaid bin Tsabit menganggap kesaksian hafalan Huzaimah bin Tsabit dihitung dua kesaksian lantaran ditetapkan oleh Rasulullah sebagai dua kesaksian.
Huzaimah bin Tsabit memiliki logika keimanan yang sederhana tapi kuat. Kalau aku percaya bahwa yang dibawa Rasul itu benar, pasti aku percaya pada semua yang dikatakannya. Peristiwa semacam ini juga terjadi pada Abu Bakar as-Shiddiq pada kejadian isra` dan mi`raj Nabi Muhammad SAW.
Ketika orang-orang di sekitarnya tak mempercayai cerita Nabi, maka Abu Bakar dengan lantang mempercayai 100 persen apa yang dikatakan Nabi, lantaran yang bercerita adalah Nabi Muhammad SAW. Sejak saat itu juga Abu Bakar diberi gelar ¬as-Shiddiq (banyak membenarkan).
Keimanan mengharuskan kepercayaan dan pembenaran yang utuh. Bukan berarti ini menafikan fakta dan akal sehat, sama sekali bukan. Huzaimah dan Abu Bakar berdalih dengan perilaku baik seseorang untuk dijadikan sebagai bukti bahwa apa yang dikatakan pasti benar. Bagaimana mungkin orang yang terpilih seperti Nabi Muhammad berbohong sedangkan secara nyata kami tak pernah menyaksikan bahwa beliau pernah bohong, bahkan orang kafirpun mengakui kejujurannya.
Dari kisah Huzaimah bin Tsabit dan petikan kisah Abu Bakar bisa dijadikan pelajaran penting bagi siapa saja yang mengaku beriman pada ajaran Allah dan Rasulullah seharusnya tidak meragukan dan menggamangkan nilai-nilai ajaran yang sudah tetap, karena keimanan sejati akan menepis segala keraguan dalam relung hati. (Aza)