Rasulullah SAW adalah hamba yang paling mulia. Allah SWT menurunkan firman-Nya untuk menjelaskan hal ini.
Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Alfath, Ayat 1-2:
إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِينًا
لِيَغْفِرَ لَكَ اللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا
Artinya:
(1) Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.
2. supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus,
Tafsirnya adalah:
1. Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan kemenangan kepada Rasulullah dan kaum muslimin dengan kemenangan yang nyata dengan perjanjian Hudaibiyah.
2. Agar Allah mengampuni dosamu yang telah lalu sebelum kemenangan ini dan yang akan datang dan menyempurnakan kenikmatan-Nya kepadamu dengan kemenangan agamamu serta menuntunmu kepada jalan yang lurus, tidak ada bengkoknya, yaitu jalan Islam yang lurus.
Allah SWT menjamin bahwa Rasulullah telah diampuni, apa pun yang terkait dengan segala kesalahan, apalagi dosanya. Baik Yang telah lalu maupun yang akan datang. Jaminan dari Allah SWT, yang pasti bahwa beliau bersih dari segala bentuk dosa.
Ketika kita mendapati beliau di posisi ini, kita kemudian bertanya-tanya mengapa orang yang sudah dipastikan dosanya diampuni dan otomatis terjaga dari segala bentuk kesalahan, tapi ibadahnya, kedekatannya dengan Allah melebihi siapa pun?
Rindunya kepada Allah bisa kita baca ketika beliau mengatakan kepada Bilal menjelang azan dan shalat:
“Arihna biha ya Bilal..” Ya Bilal jadikanlah azan dan salat bang akan kota kerjakan mengistirahatkan kita, menenangkan kita.
Seakan dunia adalah sebuah kesibukan, yang membuat gelisah dan galau, dan ketenangan beliau adalah ketika menghadap Allah SWT dalan shalat, dalam sujudnya.
Itulah Rasulullah. Beliau dengan segala kelebihan dan keunggulannya ternyata masih menempatkan diri untuk berada di posisi tertinggi manusia yang menghamba kepada Allah SWT.
Suatu ketika, ibunda Sayyidah Aisya, Istri beliau, bertanya, “Ya Rasulullah, mengapa engkau beribadah sekuat ini, bukankah Allah telah mengampuni dosa-dosamu, baik yang telah lalu mauoun yang akan datang?
Rasulullah hanya menjawab yang patut menjadi renungan bagi kita semua.
“Tidakkah aku patut menjadi hamba Allah yang pandai bersyukur?”
Bagi kita dekat kelada Allah adalah kebutuhan untuk meningkatkan kebaikan kita, menghapus dosa kita. Tapi bagi Rasulullah, mendekatkan diri kepada Allah, artinya adalah untuk meningkatkan derajatnya sebagai hamba yang bersyukur. (Aza/Muhajir)