Selama 25 tahun Rasulullah SAW berumah tangga dengan Ibunda Khadijah Radhiyallahu ‘anha.
Pahit getir dialami mereka berdua. Rasulullah SAW memiliki keluarga yang utuh dan sempurna bersama Khadijah. Bersama Rasulullah, ada anak-anak yang baik, tetangga yang baik, lingkungan yang baik, penuh penghormatan dan penghargaaan. Itu dirasakan Rasulullah bersama Khadijah. Tentu saja saat itu adalah suatu hal yang normal sebagaimana kita tahu latar belakang Khadijahnya dan Rasulullah SAW.
Keadaan berubah ketika Rasululah SAW diangkat menjadi Rasul di 10 tahun terakhir usia pernikahan mereka. Kemudian Rasulullah SAW mendapat perlakuan yang sangat tidak baik dari lingkungannya, yaitu masyarakat musyrik quraish.
Tetapi semua perubahan itu tidak mengubah sikap Khadijah kepada Rasulullah SAW. Meskipun kali ini Khadijah kehilangan banyak waktu bersama Rasulullah SAW karena kesibukan beliau berdakwah.
Khadijah harus mengorbankan banyak sekali hartanya sebagai modal dakwah Rasulullah SAW. Tapi sekali lagi, tidak ada yang berubah dengan sikap Khadijah kepada sang suami, yaitu Rasulullah SAW.
Semua itu dirasakan dengan begitu luar biasa oleh Rasulullah SAW sehingga ketika Khadijah meninggal, Rasulullah sampai pernah mengatakan: “Aku tidak pernah merasakan satu kondisi yang lebih berat dalam hidupku kecuali setelah meninggalnya Khadijah. Tahun itu adalah tahun kesedihan, tahun kepiluan.
Aamul huzni (tahun kesedihan) yang dirasakan begitu luar biasa oleh Rasulullah SAW. Satu hal yang dipastikan bahwa Rasulullah SAW tidak pernah meninggalkan Khadijah.
Rasulullah SAW tidak pernah melupakan Khadijah. Kesetiaan Rasulullah SAW membuktikan bahwa setiap saat mendengarkan nama Khadijah, ada kesempatan untuk menyebut nama k
Khadijah, maka beliau akan menyebutnya, walaupun kemudian kita tahu Rasulullah SAW menikah dengan banyak wanita.
Banyak istri disamping beliau setelah itu, tetapi satu ruang kosong yang ditinggalkan oleh Khadijah di hati Rasulullah SAW tidak pernah terisi oleh wanita mana pun. (Aza/Muhajir)