Waktu sudah masuk subuh, seseorang masih dalam keadaan junub, bagaimana status puasanya? Bagaimana petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?
Pertanyaan tersebut, sejak 15 abad lalu telah dijawab oleh Sang Rasul. Adalah Ibunda Aisyah, istri Nabi, menarasikan hadits:
مِنْ أَهْلِهِ ، ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki waktu subuh, sementara beliau sedang junub karena berhubungan dengan istrinya. Kemudian, beliau mandi dan berpuasa.” (HR Imam Bukhari, Muslim, dan Turmudzi)
Kisah yang dituturkann oleh Ibunda Aisyah tersebut sejalan dengan firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Baqarah ayat 187:
“Maka sekarang campurilah mereka dan ikurtilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan -minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.”
Adalah Imam Nawawi, dalam syarah Shahih Muslim, memberikan penjelasan, “Yang dimaksud dengan mubasyaroh dalam ayat tersebut adalah jima’ (hubungan suami-istri). Jika jima’diperbolehkan hingga fajar terbit (waktu Subuh), tentu, ketika masuk Subuh masih dalam keadaan junub. Puasanya pun sah karena Allah perintahkan ‘sempurnakanlah puasa itu sampai datang malam’. Itulah dalil Al-Quran yang didukung oleh perbuatan Rasulullah yang menunjukkan bolehnya masuk Subuh dalam keadaan junub.”
Merujuk pada pada hadits tersebut diatas, jika mandi setelah fajar Subuh terbit diperbolehkan, maka bagi umat Islam mandi junub sebelum waktu Subuh lebih afdhol untuk dilaksanakan. (HMJ)