Rasulullah SAW tinggal di Madinah dan rumah beliau adalah rumah istri-istri beliau.
Begitu sebenarnya rumah Rasulullah SAW. Cukup banyak karena Rasulullah memiliki beberapa istri. Rumah Rasulullah dan para sahbat lebih banyak mengelilingi Masjid Nabawi.
Jika kita bayangkan Nasjid Nabawi dengan luasnya itu, maka di sekelilingnya adalah rumah-rumah para sahabat. Rumah Aisyah RA contohnya, menempel dengan rumah Fatimah dan bersebelahan dengan rumah Ummu Salamah, kemudian Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan.
Dari arah yang berbeda, berdekatan dengan rumah Fafsha, Umar bin Khattab dan lain sebagainya. Rasulullah SAW adalah tetangga yang baik bagi tetangga-tetangganya. Tentu saja tetangga yang dekat atau pun yang jauh.
Dalam Islam, tetangga tidak hanya mereka yang tinggal berdampingan dengan kita. Tetapi selama itu terjangkau dengan jangkauan yang wajar.
Bahkan, dikatakan sekitar 40 rumah ke sebelah kanan, kiri, belakang dan depan itu adalah tetangga. Maka bisa kita bayangkan ketika Rasulullah mengatakan mazaala jibrilu yushiinii biljaar…
“Jibril terus menegaskan kepadaku agar setiap orang berbuat baik kepada tetangganya, sampai-sampai aku mengira seorang tetangga berhak mendapatkan warisan dari tetangganya”.
Rasulullah SAW bertetangga dengan siapa pun dengan cara yang sangat baik sehingga beliau dikenal sebagai tetangga yang sangat menyenangkan.
Begitu juga tetangga-tetangga Rasulullah SAW memahami posisi beliau sebagai Nabi dan satu hal yang pasti bahwa ada adab yang hanya berlaku pada Nabi SAW.
Tidak berlaku pada orang lain bahwa setiap orang tidak boleh berbicara melebihi suara, lebih keras dari suara Rasulullah SAW. Itulah adab tetangga Rasulullah kepada beliau.
Hal itu dilakukan oleh para sahabat ketika beliau hidup sampai beliau wafat. Menyakiti tetangga itu adalah bagian dari penodaan terhadap iman. Man kana yu’minu billahi wal yaumil akhir fal yukrim jaarahu.
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia menghormati tetangganya” (Aza/Muhajir)