Rasulullah SAW berhadapan dengan orang-orang Nasrani, di antaranya adalah Adi bin Hatim, seorang tokoh besar dari At-Tha’i, salah satu kabilah Arab yang terkenal.
Adi bin Hatim mengira bahwa Rasulullah SAW dalam dakwahnya sebagaimana yang dia bayangkan, yaitu bermotif kekuasaan dan politik semata. Maka dalam pertarungannya dengan Rasulullah SAW, Adi bin Hatim penuh dengan cuirga, ketika dia harus kabur dan melarikan diri ke Syam, dan kemudian tinggal beberapa lama di sana.
Akhirnya Adi bin Hatim kembali ke Madinah untuk membaca situasi Rasulullah di Madinah dalam arti yang sesungguhnya.
Apa yang didapati? Adalah kebalikan dari semua yang dibayangkan semua itu. Rasulullah menyambutnya dengan begitu luar biasa. Beliau sendiri yang menarik tangannya, menyiapkam tempat tidurnya, dan menghidangkan jamuannya.
Adi bin Hatim melihat saat itu bahwa Rasulullah Saw sama sekali tidak seperti yang dua duga. Dia berkata dalam hatinya, “Ini bukan perilaku seorang penguasa dan raja, kalau Muhammad ingin kekuasaan tentu dia tidak memperlakukanku seperti ini”.
Maka mulailah kemudian Rasulullah berdialog dengan Adi bin Hatim, bertanya tentang masalah-masalah yang mendasar. Rasulullah memulai dengan dakwah, bukan memulai dengan meminta kekuasaan yang selama ini menjadi momok dalam pikiran Adi bin Hatim.
Rasulullah berkata, “bukankah selama ini engkau menyembah pendeta-pendeta kalian?”
Adi bin Hatim berkata, “kami tidak pernah menyembah mereka”.
Rasulullah membantah, “bukankah kalian mengharamkan apa yang mereka haramkan dan menghalalkan apa yang mereka halalkan. Itu artinya kalian menyembah mereka”.
Adi bin Hatim tidak percaya dengan kata-kata ini, dalam arti kalau orang ingin berkuasa, harusnya tidak bertanya seperti ini.
Rasulullah kemudian berkata, “Adi, apabila engkau selama ini tertahan untuk masuk Islam karena faktor engkau melihat kami lemah, sesungguhnya dalam waktu yang dekat Romawi, Persia akan berada di tangan kami”.
Itulah cara Rasulullah SAW mendekati Adi bin Hatim untuk kemudian mengakui kebesaran Islam. (Aza/Muhajir)