Rasulullah SAW tidak pernah marah kalau pribadi beliau yang disentuh. Kenapa? Karena Rasulullah adalah seorang yang kuat.
Rasulullah dibela oleh Allah, dibela oleh Malaikat, dan dibela orang beriman. Dalam Islam, ketika seseorang memiliki kekuatan untuk membalas orang yang menyakitinya, maka ahlak terbaik adalah memaafkan.
Itulah Rasulullah. Beliau, kalau mau, maka Malaikat gunung sekali pun siap menerima titahnya untuk membalikkan dua gunung di Makkah kepada orang-orang yang menyakitinya.
Tapi Rasulullah tidak mau dan tidak melakukannya.
Tapi apabila yang disentuh adalah hukum Allah, ajaran Allah, agama Allah, sebagaimana dikatakan Aisyah RA, maka Rasulullah akan marah semarah-marahnya.
Sehingga tidak ada yang sanggup menghentikan marahnya Rasulullah.
Jadi, Rasulullah SAW memiliki rasa marah, dan beliau menyalurkan marahnya itu dengan benar yaitu ketika yang disentuh, yang dinodai adalah hukum Allah, agama Allah, maka beliau akan marah.
Di antaranya ketika beliau marah kepada Usamah bin Zaid. Seorang yang sangat disayangi oleh Rasulullah, Putra Zaid bin Harisah, anak angkat Rasulullah SAW sebelum masalah pengangkatan anak itu dilarang oleh Islam.
Usamah bin Zaid dalam satu peperangan membunuh seseorang yang mengatakan dirinya muslim setelah terdesak. Tetapi Usamah tetap membunuhnya dengan dalih bahwa orang itu mengaku muslim agar dia lepas dari ancaman pedang Usamah bin Zaid.
Ketika Rasulullah SAW mendengar itu, Rasulullah marah dan Rasulullah berkata kepada Usamah” “Bagaimana engkau bertanggung jawab di hadapan Allah dengan kalimat ‘Laa ilaha illallah’ yang diucapkan orang itu’.
Usamah membela diri, “Ya Rasulullah, dia mengatakan itu karena ingin lepas dari ancaman pedangku”.
Kata Rasulullah, “apakah engkau telah membedah dadanya dan tahu isi hatinya? ”
Rasulullah marah, dan sangat marah kepada orang yang sangat disayanginya. Begitulah cara Rasulullah SAW marah. (Aza)