Indonesiainside.id, Jakarta – Pengurus Pusat Perhimpunan Kedokteran Haji Indonesia (PP Perdokhi) menyelenggarakan webinar bertajuk ‘Berhaji di masa pandemi Covid-19, mungkinkah? (perspektif epidemiologi dan kesehatan haji). Diskusi ini menjadi pemantik rencana agenda rapat kerja Kementerian Agama dengan DPR Selasa (2/6) besok.
Ketua PP Perdokhi, Muhammad Ilyas menuturkan bahwa pelaksaan ibadah haji tidak dapat dipisahkan dari unsur kesehatan dan kesehatan para jamaah. Mereka diharapkan mengenal kesehatan pribadinya dan faktor penyakit yang berpotensi dirasakan.
“Sehingga mereka dapat beribadah secara optimal dan aman. Hal ini sesuai dengan dasar dari Alquran Surat Ali Imran ayat 97,” kata Ilyas dalam webinar, Senin (1/6).
“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (Ali Imran: 97).
Namun, Ilyas menilai sejak pemberangkatan jemaah haji 1996 hingga 2019, kebanyakan dari jemaah memiliki risiko penyakit rentan, mulai dari komorbid (penyakit bawaan) hingga faktor lingkungan. Menurut dia, faktor lingkungan dan iklim di Saudi juga berpengaruh pada kesehatan jemaah.
“Kita melihat perbandingan jemaah yang tidak memiliki syarat Istithaah kesehatan semakin tahun semakin meningkat, sementara saat ini kurva Covid-19 sejak Maret terus meningkat. Nah, rentang umur 45-65 ini sangat rentan terkena penyakit bahkan meninggal,” ujarnya sembari melihatkan grafik data jemaah haji.
Lebih jauh, dia memaparkan kebijakan pemerintah Arab Saudi, di antaranya menangguhkan perbatasan jalur darat, laut dan udara; kebijakan pembatasan bagi orang asing termasuk yang ingin umrah; dan kebijakan penutupan perbatasan. Ilyas menyebutkan, jumlah kasus Covid-19 belum diprediksi aman secara global.
“Karena negara yang lebih awal terkena, kembali terkena kasus seperti di Cina. Sebab, virus ini murah menular, belum ada pengobatan definitif, vaksin, dan ketika seseorang menderita Covid-19, maka ada memperburuk penyakit kronik yang ada,” jelasnya. (02/Ust)