Indonesiainside.id, Jakarta – Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Kedokteran Haji Indonesia (PP Perdokhi) menyebutkan, 63 persen dari 221.000 jamaah haji di Indonesia memiliki faktor komorbid (penyakit bawaan). Hal ini harus menjadi perhatian agar tidak membahayakan jemaah haji.
“Terpenting, bagaimana kesiapan kita dalam menyiapkan fasilitas jemaah, termasuk fasilitas jamaah yang terindikasi Covid-19,” ujar Ilyas dalam webinar bertajuk ‘Berhaji di masa pandemi Covid-19, mungkinkah? (perspektif epidemiologi dan kesehatan haji), Senin (1/6).
Dia menyebutkan, ada beberapa resiko ketika jemaah haji berangkat. Pertama, mereka akan dikarantina di Saudi, begitupun ketika kembali ke Indonesia.
“Kedua, potensi terinfeksi sangat tinggi. Kita tahu bahwa kondisi di Saudi sama dengan mess gathering, potensi penularan di beberapa tempat sangat tinggi, misalkan saat orang melaksanakan tawaf, sai, jumrah, dan salat berjamaah di Masjid Nabawi,” ujarnya.
Ketiga, jika jemaah merasakan sakit di Arab Saudi, maka ada kemungkinan mendapat penolakan ketika mereka dirujuk ke rumah sakit Arab Saudi. Karenanya, lebih baik memulangkan satu orang daripada menginfeksi orang di Saudi.
“Keempat, ini akan menjadi risiko penularan bagi keluarga di tanah air saat debarkasi, kita tahu jamaah Indonesia sangat senang melakuan pariwisata dan shopping ke beberapa tempat, disinilah faktor rentan mereka terpapar virus,” katanya.
Maka, hal yang harus diperhatikan adalah kesehatan jamaah haji, pertimbangan usia maksimal yang bisa berangkat, dan penyediaan alat atau bahan diagnostik Covid-19 serta obat-obatan. “Ketika orang Saudi mengambil sampek kita, bisa saja sampel kita dimanfaatkan negara lain untuk penemuan vaksin, atau kepentingan lain, ini harus diwaspadai,” tuturnya.
Ia menyarankan, saat embarkasi dan debarkasi, jamaah selalu menerapkan jaga jarak (social distancing). Di antaranya jumlah penumpang pesawat terbatas, kapasitas kamar tidur dibatasi, makanan menggunakan boks, tempat ibadah dilakukan social distancing, pengukuran cek suhu tubuh, dilakukan disinfektan ruangan, dan disediakan sabun serta hand sanitizer.
“Hal ini harus menjadi kespakatan dengan kebijakan yang telah dibuat. Dari aspek petugas haji juga harus bebas Covid-19, tidak tergolong risti (resiko tinggi) dan menggunakan APD,” ujarnya. (02/Ust)