Tanda-tanda orang munafik, salah satunya, adalah berkhianat. Karena besarnya bahaya pengkhianatan itu, dalam al-Qur’an dan Hadits, menjadi pembelanya pun dilarang.
Larangan menjadi pembela orang-orang yang berkhianat dijelaskan dalam al-Qur’an Surat an-Nisa’ ayat 105. Sementara dalam beberapa hadits, salah satu ciri-ciri orang munafik itu, jika diberi amanat ia berkhianat.
Dalam al-Qur’an Surat an-Nisa ayat 105, Allah SWT berfirman:
إِنَّآ أَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ بِٱلْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ ٱلنَّاسِ بِمَآ أَرَىٰكَ ٱللَّهُ ۚ وَلَا تَكُن لِّلْخَآئِنِينَ خَصِيمًا
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.”
Dalam Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, menyatakan, ayat ini diturunkan berkaitan dengan seorang lelaki dari golongan orang-orang munafik dari Bani Ubairiq mencuri makanan dan senjata dari seorang Yahudi. Namun orang munafik ini menuduh orang saleh yang melakukannya.
Ketika sebagian orang mulai mengetahui siapa yang mencuri sebenarnya maka orang-orang dari kaum bani Ubairiq ini mulai membelanya di depan Rasulullah SAW (menuntut putusan). Hampir saja Rasulullah menuruti tuntutan mereka karena orang yang dituduh ini tidak mempunyai alasan. Maka turunlah ayat ini.
Firman Allah, “Dan janganlah kamu menjadi penantang, karena (membela) orang-orang yang khianat“, artinya dengan menentang orang-orang yang dalam kebenaran demi membela mereka (orang-orang yang menuduh). Ayat ini mengandung dalil tidak bolehnya seseorang membela orang yang diketahui bahwa ia berada dalam posisi salah.
Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, pakar tafsir abad 14, menyatakan, ayat ini menunjukkan haramnya pertikaian dalam kebatilan, dan (larangan) menjadi pembela bagi orang yang bersalah dalam perkara agama maupun hak-hak duniawi. Pemahaman terbalik dari ayat ini adalah bahwa boleh membela seseorang dalam perkara persidangan yang mana orang tersebut tidak diketahui memiliki kezhaliman.
Dalam hadits ke-48 dari Jamiul Ulum wal Hikam Ibnu Rajab:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ، عَنِ النَّبيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : أَربعٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ مُنَافِقاً ، وَإِنْ كَانَتْ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ فِيْهِ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفاقِ حَتَّى يَدَعَهَا : مَنْ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ خَرَّجَهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr ra, dari Nabi SAW bersabda, “Ada empat tanda seseorang disebut munafik. Jika salah satu perangai itu ada, ia berarti punya watak munafik sampai ia meninggalkannya. Empat hal itu adalah: jika berkata, berdusta; jika berjanji, tidak menepati; jika berdebat, ia berpaling dari kebenaran; jika membuat perjanjian, ia melanggar perjanjian (mengkhianati).” HR Bukhari, no. 2459, 3178 dan Muslim no. 58)
Dalam hadits lainnya:
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
مِنْ عَلاَمَاتِ الْمُنَافِقِ ثَلاَثَةٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ
“Di antara tanda munafik ada tiga: jika berbicara, berdusta; jika berjanji, tidak menepati; jika diberi amanat, berkhianat.” (HR Muslim, no. 59)
Dari Ibnu ‘Umar ra, dari Nabi SAW, beliau bersabda:
لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُقَالُ هَذِهِ غَدْرَةُ فُلَانٍ
“Setiap pengkhianat memliki bendera pada hari Kiamat kelak. Lalu dikatakan kepadanya, “Inilah pengkhianat si Fulan.’” (HR. Bukhari, no. 3187 dan Muslim, no. 1735) (Aza)