Berani, revolusioner, terang-terangan, dan tak pernah merasa takut mati. Sosok inilah yang membuat Nabi Muhammad SAW takjub pada pertemuan pertamanya. Di mana saat itu dakwah Rasulullah masih sembunyi-sembunyi di Makkah.
Dia adalah Abu Dzar al-Ghifari. Seorang kafilah atau suku Ghifar yang ditakuti karena keberanian mereka. Kabilah ini tergolong ulung dalam hal perjalanan jauh. Mereka adalah penguasa malam dan kegelapan. Celakalah jika ada orang atau rombongan musafir yang kesasar masuk di tengah-tengah kabilah ini, atau jatuh di tangan mereka. (Baca Juga: Abu Dzar, Sahabat Penumpas Kerakusan Hartawan dan Penguasa dengan Cara Evolusi)
Kedatangan Abu Dzar di hadapan Rasulullah SAW juga tak ada yang menyangka. Bahkan Rasulullah sendiri seolah tak percaya di hadapannya ada seorang Ghifar yang baru saja mengucapkan syahadat dalam pertemuan sekejapnya. Di sebuah pagi, Abu Dzar menemui Rasulullah dalam keadaan menyendiri. Abu Dzar mendekat, meski belum kenal, dan menyapa Rasulullah “kawan sebangsa”. Rasulullah pun menyapanya dengan kata yang sama sebagai “saudara sebangsa.”
Abu Dzar sudah tahu dia adalah Nabi. Tetapi ia meminta Rasulullah membacakan gubahan atau syair. “Selamat pagi wahai saudara sebangsa.”
“Waalaikumusalam wahai sahabat,” jawab Rasulullah.
“Bacakanlah kepadaku hasil gubahanmu,” kata Abu Dzar.
“Itu bukanlah syair hingga bisa kugubah, melainkan al-Qur’an yang mulia,” jawab Rasulullah SAW.
“Kalau begitu, bacakanlah untukku,” kata Abu Dzar. Maka Rasulullah SAW membacakan al-Qur’an dan Abu Dzar mendengarkannya dengan penuh perhatian. Tidak berselang lama dia pun berseru: “Asyhadu an la ilaha illallah…wa asyhadu anna Muhammadarasulullah!”
“Anda dari mana saudara sebangsa?”, tanya Rasulullah kepada Abu Dzar.
“Aku datang dari Ghifar,” jawabnya.
Rasulullah SAW tersenyum sementara wajahnya diliputi rasa kagum dan takjub. Begitu juga dengan Abu Dzar yang tersenyum karena mengetahui sesuatu yang ada di balik rasa kagum Rasulullah saat mengetahui bahwa laki-laki yang telah menyatakan Islam di hadapan beliau itu adalah seorang laki-laki dari Bani Ghifar.
Abu Dzar masuk Islam di kala Nabi masih sembunyi-sembunyi. Mungkinkah ada di antara suku Ghifar yang datang menemui Rasulullah untuk memeluk Islam? Diceritakan sendiri oleh Abui Dzar, saat itu, pandangan Rasulullah turun naik, tak putus takjub memikirkan tabiat orang-orang Ghifar, lalu sabdanya: “Sesungguhnya Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang dikehendakinya.”
Dialah Abu Dzar di antara orang yang diberi hidayah dan dipilih-Nya mendapat kebaikan. Sebelum masuk Islam, Abi Dzar memang dikenal penentang pemuja berhala di zaman jahiliyah. Dia mempunyai kepercayaan akan Ketuhanan serta iman kepada Tuhan yang Maha Besar lagi Maha Pencipta. Setelah mendengar bangkitnya Nabi yang mencela berhala, dia pun melangkah dan mencarinya hingga menempuh perjalanan jauh menuju Makkah.
Dia datang ke Makkah dengan terhuyung-hunyung letih, tetapi matanya bersinar bahagia demi menemui Nabi Muhammad utusan Allah. Ia pun masuk ke Makkah dengan menyamar, karena siapa pun yang ketahuan datang untuk menemui Nabi, pastilah ia dibunuh.
Setibanya di Makkah, dia pun mencari-cari kabar dan orang-orang yang berkumpul demi mendengarkan cerita tentang Muhammad. Hingga dari cerita yang tersebar di mana-mana, dia mendapatkan petunjuk yang menunjukkan tempat persembunyian Nabi Muhammad.
Masuk Islam
Abu Dzar telah masuk Islam. Urutannya di kalangan Muslimin adalah yang kelima atau keenam sebagai orang yang masuk Islam. Saat itu, Rasulullah masih berbisik-bisik dalam menyampaikan risalah Islam. Beliau berbisik-bisik kepada Abu Dzar, demikian juga kepada lima lainnya yang telah beriman.
Abu Dzar bernama lengkap Jundub bin JUnadah. Dia dikenal revolusioner. watak dan tabiatnya adalah menantang secara terang-terangan setiap melihat kebatilan. Setelah masuk Islam, Abu Dzar betrtanya kepada Rasulullah perihal apa saja yang ditugaskan kepadanya. Namun, Rasulullah memintanya pulang ke kaumnya hingga datangnya panggilan Rasulullah, di mana saat itu Nabi belum berdakwah secara terang-terangan.
Namun, Abu Dzar yang pemberani mengatakan tak akan kembali sebelum menakalukkan Makkah dan meneriakkan Islam di dalam masjid. “Demi Tuhan yang menguasai nayawaku. Saya tidak akan kembali sebelum meneriakkan Islam dalam masjid.”
Lalu Abu Dzar pergi ke Masjidil Haram dan menyerukan dengan sekeras-kerasnya, “Asyhadu an la ilaha illallah…wa asyhadu anna Muhammadarasulullah!” Inilah teriakan pertama yang menentang kesombongan orang-orang Quraisy dan memekakkan telingan mereka. Suara lantang itu datang dari seorang Abu Dzar yang masih asing dan tidak punya sanak keluarga yang dapat membelanya. Orang-orang musyrik kemudia berkumpul dan memukulinya hingga rubuh.
Sampailah berita itu kepada paman Rasulullah, Abbas, dan mendatangi tempat Abu Dzar dikeroyok. Namun, rasanya Abu Dzar tak akan lepas dari cengkraman Quraisy kecuali dengan bahasa halus atau diplomasi lembut. Maka paman Nabi mengatakan kepada mereka, “Wahai kaum Quraisy! Anda semua adalah bangsa pedagang yang mau tak mau lewat du kampung Bani Ghifar. Orang ini (Abu Dzar) salah seorang warganya. Ia bisa menghasut kaumnya untuk merampok kafilah-kafilah nanti.” Mereka pun menyadari itu dan menginggalkan Abu Dzar.
Setelah kejadian itu, Abu Dzar tetap tidak ingin meninggalkan Makkah. Dia menikmati manisnya iman walau badannya babak belur akibat caranya berdakwah yang terang-terangan. Terbukti pada hari berikutnya, Abu Dzar kembali memaki-maki berhala yang tengah disembah oleh dua wanita sambil tawaf mengelilingi berhala-berahala Usaf dan Na-ilah. Di saat itu, Abu Dzar menghalangi mereka.
Itulah yang membuat kedua wanita tersebut berteriak hingga orang-orang Quraisy datang lagi berkumpul. Mereka mengeroyok Abu Dzar hingga tak sadarkan diri. Ketika beliau siuman, berteriak lagi dengan mengucapkan syahadat.
Rasulullah maklum dengan tabiat murid barunya yang ulung itu. Sejak awal Rasulullah sudah takjub dengan sikapnya melawan kebatilan. Sayangnya, momentumnya belum tiba sehingga Rasulullah kembali memerintahkan agar dia pulang ke kaumnya. Rasulullah akan memanggilnya jika nanti sudah tiba waktunya.
Kali ini, Abu Dzar menuruti perintah Rasulullah untuk segera pulang. Di kampungnya, di tengah Bani Ghifar, Abu Dzar menceritakan tentang Nabi yang diutus Allah SWT dengan membawa agama Islam dengan perangai akhlak yang mulia. Abu Dzar pun mengajak kaumnya memeluk Islam hingga ke kabilah lainnya yaitu suku Aslam. Di tengah-tengah kegelapan alam jahiliyah itulah Abu Dzar menyalakan cahaya Islam dan dua kabilah itu memeluk Islam.
Setelah beberapa lama, Rasulullah pun hijrah ke Madinah dan menetap di sana bersama kaum muslimin. Suatu hari di Madinah, tampak pasukan berkuda dan berjalan kaki membentuk barisan panjang mendekati perkumpulan kaum muslimin. Kepulan debu jejak pasukan tersebut pun kelihatan saking banyaknya rombongan yang datang.
Kalau bukanlah karena gemuruh takbir, tentulah yang melihatnya akan menyangka pasukan musuh datang menyerang kota. Semakin lama semakin dekat, dan tibalah di tengah kota kaum muslimin menuju masjid Rasulullah dan kediamannya.
Kabilah itu tak lain adalah pasukan dari Ghifar dan Aslam bersama Abu Dzar. Tak ada yang tersisa tidak masuk Islam, dari semua kalangan. Laki-laki, perempuan, orang tua, anak-anak, dan remaja. Allahu Akbar. Sudah sewajarnyalah Rasulullah SAW semakin takjub dengan Abu Dzar al-Ghifari.
Belum lama rasanya ia takjub dengan kedatangan seorang diri dari Ghifar yang ditakuti banyak orang, saat itu datang lagi dua kaum sekaligus dan dari semua kalangan. Seluruhnya menyatakan keislaman mereka sejak beberapa tahun setelah Abu Dzar datang seorang diri kepada Rasulullah. Raksasa garong dan perampok dengan komplotan setan berubah wajah menjadi raksasa kebajikan yang gagah berani pembela Islam.
Rasulullah SAW melayangkan pendangannya kepada kaum Ghifar dengan wajah berseri-seri diliputi rasa haru dan cinta kasih. Sambil menoleh ke kaum Ghifari, Rasulullah SAW bersabda: “Ghifaarun ghafarallahu laha” (Suku Ghifar telah di-ghafar (diampuni) oleh Allah). Kemudian menoleh ke suku Aslam, seraya bersabda: “Wa Aslama salaamahallahu” (Suku Aslam telah di-salam (diterima dengan damai) oleh Allah.
Abu Dzar bagaikan disemakkan bintang tertingi di pundaknya dan riwayat hidupnya disesaki medali termulia. Rasulullah SAW bersabda: “Takkan pernah lagi dijumpai di bawah langit ini, orang yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar.”
Kebenaran yang disertai dengan keberanian, itulah prinsip Abu Dzar. Benar batinnya, benar pula lahirnya. Benar akidahnya, benar pula ucapannya. Menurut Abu Dzar, kebenaran bukanlah kebenaran yang bisu. Yang dikatakan benar adalah kebenaran yang disampaikan dengan terbuka dan terus terang. Benar itu adalah kecintaan yang penuh pada yang haq, mengemukakannya secara berani dan melaksanakannya secara terpuji.
Karena keberanian dan keterbukaan Abu Dzar dalam menyampaikan kebenaran, Rasulullah pun berpesan kepadanya agar melatih diri dengan banyak bersabar dan tidak terburu nafsu. Karena kesulitan dan kesusahanlah yang akan terus menghadangnya. Begitu beratnya menyampaikan kebenaran secara terang-terangan, musuh dan tantangannya tidak sedikit dan tak pula kecil.
Abu Dzar mendapat wasiat dari Rasulullah, agar senantiasa bersabar. Bolehlah ia menggunakan ketajaman pedangnya dalam menghadapi penguasa yang rakus dan zalim, namun ia menahan karena pesan Rasulullah. Meski begitu, Abu Dzar tidak dilarang menggunakan lidah yang tajam demi membela kebenaran. Sabda Rasulullah SAW kepadanya: “Bersabarlah sampai engkau menemuiku.” Wallahu a’lam. (Aza)
(Dinukil dari Rijal Haular Rasul: 60 Sahabat Rasulullah, karya Khalid Muhammad Kalid)