Untuk menjadi tokoh agama yang dijadikan rujukan oleh masyakarat, harus mengerti soal bermadzhab dalam beragama. Bisa menjelaskan dengan rinci soal metodologi dan dasar-dasar bermadzhab. Jika tidak, sebaiknya jadi pendengar saja, jangan ceramah!
Oleh: KH Taufik Damas
Tanya: bolehkah beragama tanpa madzhab? Jawab: tidak boleh. Memang ada orang yang beragama terkesan tidak bermadzhab, tapi sejatinya mereka bermadzhab. Hanya saja mereka tidak mampu menjelaskan ke-bermadzhaban-nya karena tidak pernah ngaji (belajar) secara serius soal rincian ilmiah cara beragama.
Mereka shalat pakai madzhab, puasa pakai madzhab, haji pakai madzhab, dan seterusnya. Ketika ditanya ikut madzhab siapa, mereka tidak bisa menjawab. Inilah yang disebut sebagai orang awam dalam ilmu-ilmu agama. Salahkah mereka? Tidak. Selama menjalankan semua itu untuk diri sendiri, maka mereka tidak bersalah.
Meski demikian, seharusnya setiap muslim tahu dari siapa (imam madzhab) dia mengambil ilmu urusan agamanya; mengikuti madzhab siapa. Muslim model ini adalah sebagian besar. Muslim model begini tidak boleh jadi seperti ustadz, kiai, ulama, atau tokoh agama.
Karena, untuk menjadi tokoh agama yang dijadikan rujukan oleh masyakarat, orang harus mengerti soal bermadzhab dalam beragama. Bisa menjelaskan dengan rinci soal metodologi dan dasar-dasar bermadzhab. Jika tidak, sebaiknya jadi pendengar saja, jangan ceramah. Madzhab dalam Islam dibangun berdasarkan akumulasi pemikiran dari generasi ke generasi.
Dimulai dari guru utamanya, yaitu Nabi Muhammad SAW, para sahabat, tabiin, tabiit-tabiin, ulama-ulama dan seterusnya, sampai generasi sekarang ini. Jadi tidak bisa Anda beragama kemudian mengaku guru Anda adalah Nabi dan para sahabatnya secara langsung. Apalagi kemudian ceramah ke sana ke mari.
Para ulama sepakat akan pentingnya bermadzhab dalam beragama. Sebagian mereka bahkan menganggap beragama tanpa bermadzhab adalah kemungkaran. Dalam kitab Aqdul Jayyid fi Ahkam al-Ijtihad wa at-Taqlid, hal. 14, Syah Waliyullah ad-Dahlawi al-Hanafi (w. 1176 H.) menyatakan: “Ketahuilah bahwa bermadzhab adalah kebaikan yang besar. Meninggalkan madzhab adalah kerusakan (mafsadah) yang fatal.
Pernyataannya ini didasari oleh beberapa alasan:
Pertama, semua ulama sepakat bahwa untuk mengetahui syariat harus berpegang teguh pada pendapat generasi salaf (Nabi dan sahabat). Tabiin berpegang teguh pada para sahabat. Tabiit-tabiin berpegang teguh pada para tabiin. Demikian seterusnya: setiap generasi (ulama) berpegang teguh pada generasi sebelumnya.
Ini masuk akal, karena syariat tidak bisa diketahui kecuali dengan jalan menukil (naql) dan berpikir menggali hukum (istinbath). Tradisi menukil (naql) tidak bisa dilakukan kecuali satu generasi (ulama) menukil dari generasi sebelumnya (ittishol).
Dalam berpikir mencari keputusan hukum (istinbath) tidak bisa mengabaikan madzhab-madzhab yang sudah ada sebelumya. Ilmu-ilmu seperti nahwu, sharf, dan lain-lain tidak akan bisa dipahami jika tidak memahaminya melalui ahlinya.
Kedua, Rasulullah SAW bersabda, “Ikutilah golongan yang paling besar (as-sawad al-a’zham).” Setelah saya mempelajari berbagai madzhab yang benar, saya menemukan bahwa 4 madzhab adalah golongan yang paling besar. Mengikuti 4 madhzab berarti mengikut golongan paling besar.
Ketiga, karena zaman telah jauh dari masa awal Islam, maka banyak ulama palsu yg terlalu berani berfatwa tanpa didasari kemampuan menggali hukum dengan baik dan benar. Banyak amanat keilmuan yang ditinggalkan oleh mereka, dan mereka berani mengutip pendapat generasi salaf tanpa dipikirkan.
Mereka mengutipnya lebih didasari oleh hawa nafsu belaka. Ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah langsung dirujuk, sementara mereka tidak memiliki otoritas keilmuan untuk istinbath. (Aza)
* Wakil Katib Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta KH Taufik Damas, dikutip dari Twitter @TaufikDamas