Dulu, ketika di pesantren, para guru dan kiai mengajarkan agar kami sabar dan rendah hati dalam menuntut ilmu. Ada banyak perangkat ilmu yang harus dipelajari sebelum menghadapi Al-Quran dan Hadis.
Oleh: KH Taufik Damas
Apa maksudnya? Bukankan kita harus setiap hari baca Al-Quran? Kalau sekadar membaca, tentu bisa kapan saja dan harus sesering mungkin karena itu merupakan ladang pahala (al-muta’abbad bi tilawatihi).
Untuk membaca dan mengambil kesimpulan-kesimpulan dari Al-Quran dan Hadis, kami dituntut untuk belajar berbagai disiplin ilmu: Nahwu, Sharaf, Balaghah, Ushul Fiqh, Ulumul Quran, Ulumut Tafsir, Hadis, Ulumul Hadis, Asbabun Nuzul, Tarikh Tasyri’, Sejarah Islam, dan sebagainya.
Jangan sekali-kali mencoba mengambil kesimpulan-kesimpulan dari Al-Quran atau Hadis sebelum mempelajari itu semua dengan baik dan ketekunan. Ilmu-ilmu tersebut merupakan alat bantu untuk memahami Al-Quran dan Hadis.
Tanpa ilmu-ilmu tersebut, orang akan mudah keliru dalam mengambil kesimpulan-kesimpulan dari Al-Quran dan Hadis. Kini, banyak orang yang terlalu sombong di hadapan Al-Quran dan Hadis. Tanpa bekal keilmuan yang cukup, mereka berani lancung mengambil kesimpulan dari ayat-ayat Al-Quran dan Hadis.
Sialnya, kemudian kesimpulan-kesimpulan itu kadang dipakai untuk memukul orang lain yang berbeda pandangan; dipakai untuk merendahkan dan menista orang lain yang tak sepemikiran dengannya.
Kecerdasan ada batasnya, tapi tidak dengan kebodohan dan kesombongan. Rendah-hatilah, Saudara-saudara… Kalau tidak bisa, jangan bilang bisa. Kalau tidak tahu, jangan bilang tahu. Kalau tidak berani, jangan bilang berani. (Aza)
* Wakil Katib Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta KH Taufik Damas, dikutip dari Twitter @TaufikDamas