Surat Al-Mulk adalah surat Makkiyyah dengan jumlah ayat sebanyak 30. Rasulullah SAW bersabda: “Aku ingin seandainya surat Al-Mulk ada di hati setiap mukmin.” Hadits ini disebutkan oleh Al-Qurthubi.
Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Surat dari Al-Qur’an yang berjumlah 30 ayat, ia dapat memberikan syafaat bagi yang membacanya hingga dia diampuni Allah, (surat itu adalah) Tabarakalladzi biyadihil mulku (Surat Al-Mulk).” (Sunan Abu Daawud no. 1400; Jaami’ At-Tirmidziy 2/728; Sunan Ibnu Maajah 4/241; Musnad Ahmad no. 7915 – Hasan)
Allah SWT memberikan ampunan bagi hamba-Nya yang membaca Surat al-Mulk. Jika ditanya, kapan saja Surat al-Mulk ini dibaca sesuai tuntunan Nabi SAW? Dalam hadits lain, dari Jaabir Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa Nabi SAW dahulu tidak tidur hingga beliau membaca “Alif Laam Miim Tanziil (as-Sajdah)” dan “Tabarakalladzi biyadihil mulku (al-Mulk).” (Jaami’ At-Tirmidziy no. 2892; Musnad Ahmad no. 14249] – Shahih lighairihi)
Hadits ini memberikan tuntunan bahwa Rasulullah SAW membaca Surat al-Mulk setiap malam bersama Surat as-Sajdah. Karenanya, beruntunglah bagi mereka yang senantiasa membiasakan untuk membaca Surat al-Mulk sebelum tidur malam. Sekali dua kali, mungkin masih terasa berat, namun tidak ada yang berat jika dilakukan secara terus menerus hingga terbiasa.
Ini juga memberikan keringanan bagi yang membaca al-Qur’an secara berulang-ulang dalam menghafalkannya dengan izin Allah Ta’ala. Dengan begitu, surat al-Mulk diharapkan tidak akan lepas dari hati seorang mukmin.
Kandungan Surat al-Mulk
Makna ayat dalam Surat al-Mulk, banyak pelajaran dalam mengarungi kehidupan ini. Di awal ayat disebutkan bahwa kedudukan Allah Mahatinggi dan kebaikannya Mahabesar. Di tangan-Nyalah tergenggam kerajaan langit dan bumi.
Allah yang menetapkan kematian dan kehidupan ini sebagai ladang amal dan ujian bagi umat manusia, siapa yang lebih ikhlas dan lebih taat kepada-Nya. Allah juga yang menciptakan tujuh lapis langit dengan sempurna atau tanpa kekurangan sedikit pun.
Dalam surat ini, Allah juga menyebutkan gugusan-gugusan bintang di angkasa sebagai atap dan hiasan hamparan bumi ini. Di antara bukti kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan kematian dan kehidupan, menciptakan alam semesta secara akurat dan harmoni tanpa ada cacatnya. Manusia tidak akan bisa meliputi rahasia-rahasia-Nya (ayat 1-4).
Meski demikian, setan-setan dari golongan manusia menduga-duga perkara ghaib dengan klaim bahwa ia bersandar pada bintang-bintang. Atau mereka mengira bisa meliputi rahasia-rahasia alam semesta dengan ramalan bintang. Padahal, ramalan terhadap perkara ghaib itu dapat menjerumuskan pelakunya kepada akibat terburuk. Pengakuan seseorang bahwa ia mengetahui perkara ghaib dan masa depan melalui bintang-bintang—yang hanya diketahui oleh Allah semata—itu sama dengan kufur (ayat 5-7).
Seberapapun tingginya ilmu manusia di muka bumi, mustahil baginya meliputi semua rahasia alam semesta: “Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah.” (QS Al-Mulk: 4)
Secara menyeluruh dan pasti, manusia bersandar pada petunjuk Ilahi yang turun kepada manusia melalui wahyu. Meskipun demikian, mereka menduga-duga perkara ghaib: “Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan.” (QS Al-Mulk: 5)
Orang-orang kafir lebih memilih praduga terhadap perkara ghaib daripada pendengaran dan akal yang sehat: “Dan mereka berkata, ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.’” (QS Al-Mulk: 10)
Karena akal mereka hanya terpaku pada dunia materi, maka mereka tidak melihat sesuatu yang lebih jauh dari hidung mereka: “Maka apakah orang yang berjalan terjungkal di atas mukanya itu lebih banyak mendapat petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?” (QS Al-Mulk: 22)
Neraka Jahannam nyaris terpecah-pecah lantaran marah kepada kebodohan orang-orang kafir dan ketidak-mampuan mereka menggunakan persepsi-persepsi akal, sehingga mengakibatkan mereka masuk ke dalam neraka Jahannam. Di dunia mereka menganggap bahwa wahyu Ilahi itu tidak hakiki. Maka, pengakuan dosa mereka tidak bermanfaat setelah hijab disingkap (ayat 8-11). Wallahu A’lam bish Shawab. (Aza)