Jika ingin melihat contoh terbaik dalam hidup bersahaja dan sederhana, maka bisa dibaca dalam hayat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau ini pemimpin teladan yang memilih hidup sederhana, sedangkan jasa-jasanya sangat luar bisa.
Dengan kedudukan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Nabi serta, kepiawaian beliau dalam berbisnis serta posisi beliau yang sangat dekat di hati umat, sebenarnya bisa saja beliau hidup kaya raya, tapi yang dipilih adalah hidup bersahaja atau sederhana.
Dalam beberapa kondisi bahkan, kehidupan Nabi –menurut ukuran orang awam—terlihat di bawah standar kebanyakan orang. Kadang untuk menerangi rumahnya, harus menunggu terangnya bulan purnama; pernah tidak makan berhari-hari; pernah mengikat perutnya dengan batu yang dililit tali dan kondisi susah lainnya yang menunjukkan hayat beliau sangat-sangat bersahaja.
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu pernah bercerita bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidur di atas tikar. Rupanya, setelah bangun tikar itu membekas di lambung Rasulullah. Kemudian, beliau dan sahabat lain berinisiatif untuk membuatkan dipan yang lebih nyaman untuk istirahat.
Apa jawaban Nabi? Beliau malah bersabda, “Apa urusanku dengan dunia, aku di dunia tidak lain seperti pengendara yang bernanung di bawah pohon setelah itu pergi dan meninggalkannya.” (HR. Tirmidzi)
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu juga pernah mengisahkan, suatu hari, saat Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu berkunjung ke rumah Rasulullah. Ketika itu beliau sedang berada di atas tikar yang tak dilapisi apapun. Sedangkan di bawahnya hanya ada bantal yang terbuat dari kulut yang berisi sabut.
Sementara itu, di kakinya terdapat dedaunan yang dituangkan, dan di kepalanya ada kulit yang sudah disamak. Kondisinya sangat bersahaja. Umar pun tercengang kemudian menangis tatkala melihat bekas tikar di samping kiri badan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Nabi pun merespon, “Umar! Mengapa kamu menangis?” Umar menjawab, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Kisra dan Kaisar keduanya berada dalam kesenangan, sedangkan Anda wahai Rasulullah.” Sebagai ungkapan keheranan Umar melihat kehidupan Nabi yang sangat bersahaja. Kemudian Nabi menimpali, “Apa kamu tidak rida apabila dunia ini menjadi milik mereka, sedangkan akhirat untuk kita?” (HR. Bukhari) Di balik kesederhanaan ini, Rasulullah –atas izin Allah—bisa berjasa menyelamatkan banyak manusia dari kegelapan menuju cahaya.
Tidak mengherankan jika di kemudian hari, saat Umar menjabat khalifah kedua, beliau teladani kebersahajaan hidup Rasulullah. Sampai pernah suatu hari, ketika ada utusan dari negara lain untuk bertemu Umar, utusan itu kaget. Mengapa? Karena umar tidur di bawah naungan pohon, di atas pasir tanpa penjaga dan pengawalan.
Orang yang diperbudak dunia, tak mungkin bisa melakukan hal itu dengan kedudukan dan posisi yang memungkinkannya untuk melakukan apa saja. Pada masa beliau, kedilan ditegakkan dan rakyat pun sejahtera. Maka orang yang melihat Umar tidur di bawah pohon itu berkomentar, “Kamu telah mengurusi rakyat dengan adil sehingga rasa aman tersebar dan engkau pun bisa tidur.”
Di negeri Indonesia tercinta, banyak sekali pemimpin yang hidup dengan bersahaja dan sederhana. Mereka ini tipikal figur yang selesai dengan dunianya. Dalam pikirannya adalah bagaimana bisa mengabdi kepada agama, bangsa dan negara. Kalaupun harus menjalani hidup sangat sederhana bahkan susah, tidak mengubah tekad meraka untuk berkontribusi.
Dalam buku “Merawat Indonesia” (2017: 167-169) karya Bapak Lukman Hakiem, Tokoh DDII, disebutkan beberapa kisah menarik mengenai para tokoh yang hidupnya sederhana dan sangat bersahaja, tapi pengabdiannya untuk bangsa dan negara sangat besar. Mereka tidak menggunakan “aji mumpung” dengan kedudukan yang dimiliki; mereka menjadi pejabat tidak pernah digunakan untuk memperkaya diri, tetapi murni berdedikasi untuk rakyat.
Siapa yang tak tahu kebesaran Bung Karno? Meski begitu, pernah suatu hari beliau tidak mampu membeli buah duku kesukaannya. Akhirnya, yang membayari adalah ajudannya. Demikian pula Bung Hatta, sang Wakil Presiden, suatu saat harus rela bersabar karena tak mampu membeli sepatu yang selama ini diidam-idamkannya. Haji Agus Salim, pahalawan besar Indonesia ini juga hidupanya sangat sederhana. Pindah dari kontrakan satu ke kontrakan lainnya, bahkan suatu hari tak bisa membeli sekadar untuk kafan anaknya yang meninggal dunia.
Demikian pula Natsir yang pernah menjadi Perdana Mentri dan Menteri Penerangan. Ketika menjabat pernah dilihat oleh Kahin memakai jas bertambal. Bahkan ketika sudah selesai dari jabatannya, beliau tidak mau dilayani. Beliau pulang menumpang sepeda supirnya.
Kisah lain yang tak kala mengharukan adalah bagaimana seorang Sjafruddin Prawiranegara yang pernah menjabat menjadi Gubernur Bank Indonesia, pernah sampai tidak bisa membeli popok untuk anaknya. Bahkan, Syahrir, yang pernah menjadi Perdana Menteri Indonesia pun juga harus menjual mesin jahit kesayangannya karena tidak ada uang untuk belanja.
Dari hayat mereka, pembaca dan penulis bisa belajar tentang hidup sederhana. Yang tidak kalah penting juga, adalah di balik hidup sederhana itu terpatri cita-cita luhur yaitu tetap berkontribusi untuk agama, bangsa dan negara. Rahimahumullah rahmatan waasi’ah (semoga Allah merahmati mereka semua). [MBS]