Para Pembesar Qurays, penentang dakwah Nabi, dirundung bingung. Bagaimana mungkin al-Qur`an yang baru ‘seumur jagung’, mampu dengan cepat menyita banyak perhatian penduduk semenanjung. Hanya dengan mendengar, hati langsung bergetar. Cukup dengan menyimak, jiwa langsung kagum berdecak.
M elihat kondisi demikian, di antara mereka pun ada yang menyampaikan usul, “Ini harus ditangani dengan cepat sebelum terjadi yang tak diinginkan.” Al-Qur`an menggambarkan situasi pada waktu itu dengan begitu presisi:
وَقَالَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لَا تَسۡمَعُواْ لِهَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانِ وَٱلۡغَوۡاْ فِيهِ لَعَلَّكُمۡ تَغۡلِبُونَ ٢٦
“Dan orang-orang yang kafir berkata: “Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al Quran ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka” (QS. Fusshilat [41]: 26).
Supaya penyebaran dan pengaruh Al-Qur`an terhambat, Abu Jahal dan para pembesar lainnya menyiapkan dua langkah strategis: Pertama, dilarang mendengar al-Qur`an. Kedua, membuat hiruk-pikuk atau kekacauan. Tujuannya jelas: agar Muhammad Shallallahu `alaihi wasallam kalah dan al-Qur`an pun diabaikan. Ternyata, cara-cara demikian, sampai sekarang, juga masih digalakkan untuk menghambat hidayah al-Qur`an.
Mulailah mereka menerapkan strategi dengan tinggi hati. Abu Lahab, saat diundang bersama saudara-saudaranya untuk menghadiri jamuan Nabi, ia melarang keluarganya mendengar al-Qur`an, mengacaukan dakwah dan merusak lantunan Al-Qur`an yang dibacakan, agar orang tak perhatian. Bahkan menuduhnya sebagai penyihir. (Baca: Ibnu Katsir, Sirah Nabawiah, 1/458).
Tak tanggung-tanggung, Nadhar bin Haris pun rela pergi ke Hirah, Irak untuk mempelajari seni cerita, dongeng dan apapun yang bisa menarik perhatian orang. Sepulangnya dari sana, ia mulai menganggu Rasulullah Shallallahu `alaihi wasallam. Setiap ada majelis dakwah Al-Qur`an, Nadhar berada di sampingnya untuk membuat kekacauan. Ia berkata, “Demi Allah, apa yang disampaikan Muhammad tak lebih bagus dari ceritaku.”
Jauh panggang dari api. Strategi mereka justru membuat Al-Qur`an semakin menggema di seantero Mekkah. Rupanya, semakin dilarang, membuat penasaran orang. Sebagai contoh: Thufail bin Amru Ad-Dusi (pemuka suku Daus, Yaman), ketika berkunjung ke Makkah, saat bersama pembesar Qurays, ia mendapat peringatan agar tidak dekat-dekat dengan Muhammad Shallallahu `alaihi wasallam karena dianggap berbahaya.
Thufail pun menuruti. Ia tutup kupingnya dengan kapas, supaya tak terimbas. Pagi-pagi ia menuju Ka`bah dengan kuping tertutup. Ternyata, tak jauh darinya ada Muhammad Shallallahu `alaihi wasallam sedang shalat membaca al-Qur`an di samping Ka`bah.
Takdir Allah berkata lain. Hembusan hidayah al-Qur`an mampu menembus kuping hingga menancap ke relung hatinya. Singkat cerita, di hadapan nabi ia berujar, “Aku tak pernah mendengar perkataan yang lebih indah darinya dan perintah lebih adil daripadanya.” (Ibnu Katsir, Sirah Nabawiah, 2/73). Pada akhirnya, ia pun memeluk Islam.
Tak cukup sampai di situ. Pada bulan Ramadhan tahun kelima kenabian, terjadi peristiwa menakjubkan. Ketika itu Rasul dan para mukmin sedang bersama orang-orang kafir Qurays. Di hadapan mereka Nabi mulai menyenandungkan Al-Qur`an. Dibacalah Surah An-Najm. Mereka sangat terkesan dengan bacaan beliau. Muhammad Shallallahu `alaihi wasallam pun menjadi pusat perhatian. Sesampainya pada ayat anjuran sujud, Rasul pun bersujud. Anehnya, orang-orang kafir pun mengikutinya. Al-Qur`an mampu menembus ruang batin mereka.
Masih banyak contoh lain yang tak kuasa menahan hembusan hidayah al-Qur`an. Cukup dibacakan, hati mereka langsung berkesan. Umar bin Khattab (saat bersama adiknya, Fathimah dibacakan Surah Thaha), Jubair bin Muth`im adalah salah satu di antara mereka yang terkesan kemudian masuk Islam.
Demikianlah Allah menghembuskan hidayah-Nya melalui Al-Qur`an kepada setiap orang. Bagaimana tidak, al-Quran adalah al-haq, diturunkan dari Allah yang Haq. Maka ketika yang haq datang, yang bathil pun akan lenyap dan tak kan mampu menghadang hidayahnya. Al-Qur`an pun melantunkan:
وَقُلۡ جَآءَ ٱلۡحَقُّ وَزَهَقَ ٱلۡبَٰطِلُۚ إِنَّ ٱلۡبَٰطِلَ كَانَ زَهُوقٗا ٨١
“Dan katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (Qs. Al-Isra [17]: 81).