Buya Hamka dalam buku “Lembaga Hidup” (1962: 75), menukil analogi menarik terkait nafsu manusia. Tamsil ini diambil dari nasihat Aristoteles kepada Iskandar (Alexander). “Kalau nafsu jahat telah bertali dengan dunia, adalah dia laksana api dengan kayu kering,” sebuah gambaran yang menegaskan bahwa hawa nafsu tidak ada ujung pangkalnya, laksana api yang membakar.
Api itu akan terus membakar kayu bakar. Dan jika sudah tak ada lagi yang bisa dibakar, maka padamlah ia, dan yang tersisa hanyalah abu. Demikian pula kehidupan manusia. Jika ia menuruti hawa nafsu, maka tidak akan ada habisnya. Ia akan menuntut dan terus menuntut, sampai dirinya bersua maut.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لاَبْتَغَى ثَالِثًا، وَلاَ يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ
“Sekiranya anak Adam memiliki harta sebanyak dua bukit, niscaya ia akan mengharapkan untuk mendapatkan bukit yang ketiga, dan tidaklah perut anak Adam itu dipenuhi melainkan dengan tanah, dan Allah menerima taubat siapa saja yang bertaubat.” (HR. Bukhari)
Harta sebanyak dua bukit bisa berupa emas, perak, permata, berlian dan semacamnya tidak akan membuat puas, kecuali “turab” (tanah). Apa maksudnya? Ibnu Baththal dalam “Syarah Shahih al-Bukhari (X: 160) menjelaskan bahwa makna tanah di sini adalah (manusia baru berhenti menginginkand dunia) apabila telah mati dan dikebumikan dalam kubur sehingga dirinya dipenuhi dengan tanah. Rasulullah membuat tamsil seperti ini sebagai pelajaran tentang tercelanya rakus terhadap dunia dan hawa nafsu yang ingin terus menambahnya.
Penulis jadi teringat tamsil dari KH. Zainuddin MZ terkait manusia yang tidak akan puas jika ingin memenuhi nafsunya. Yang berjalan kaki ingin punya sepeda, yang bersepeda ingin punya motor, yang punya motor ingin punya mobil, yang punya mobil ingin punya pesawat dan seterusnya, tidak ada habisnya.
Meminjam istilah surah At-Takatsur, kebanyakan manusia itu memang hobi mengumpulkan banyak-banyakan harta. Dan itu baru berhenti ketika sudah masuk dalam kubur. Lalu, bagaimana caranya agar jiwa manusia bisa puas dan tidak dibuat rakus oleh dunia karena menuruti hawa nafsu?
Jawabannya, tertera pada hadits Nabi berikut:
انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
“Lihatlah orang yang ada di bawah dari kalian, jangan melihat yang ada di atas kalian, karena yang demikian lebih mendorong untuk tidak mengurangi nikmat Allah atasmu.” (HR. Tirmidzi)
Dalam keterangan hadits Bukhari, perintah ini disampaikan Nabi kepada umatnya ketika melihat orang yang dilebihkan harta dan fisiknya. Mengapa perlu melihat orang yang di bawahnya, karena hal ini bisa mengendalikan hawa nafsu rakus manusia yang selalu ingin minta tambah dan tambah.
Dengan melihat orang yang kondisinya di bawahnya, maka dia akan menjadi hamba yang selalu bersyukur. Dalam al-Qur`an dijelaskan bahwa orang yang bersyukur pasti akan ditambah nikmatnya, sementara yang kufur malah akan mendapat siksa. Maka dalam hal ini, sekali lagi, kuncinya adalah syukur.
Melihat orang yang lebih susah, lebih sulit dalam hal keduniaan bukan berarti menghalangi kita untuk melihat orang yang di atas kita untuk dijadikan motivasi supaya bisa menjadi orang kaya. Karena menjadi kaya tidak tercela selama tidak melalaikannya dari Allah. Yang menjadi persoalan adalah ketika sudah dikuasai oleh hawa nafsu sehingga dirinya tidak pernah puas dan ingin terus menumpuk harta.
Orang yang memperturukan hawa nafsu hidupnya tidak akan pernah merasa puas. Gambaran Al-Qur`an mengenai orang yang pandai mengendalikan nafsu dan yang memperturutkannya menjadi penting untuk direnungkan: “Adapun orang yang melampaui batas [37] dan lebih mengutamakan kehidupan dunia [38] maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya) [39] Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya [40] maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).[41]” (QS. An-Nazi’at [79]: 37-41)