Dengan membaca hayat empat khalifah sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ada banyak pelajaran yang bisa diambil darinya. Salah satunya: pemimpin itu bukan saja siap dilantik, tapi juga dalam waktu yang sama siap pula dikritik.
Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu dilantik, di antara isi pidatonya sangat penting untuk diperhatikan, “Jika aku berbuat baik, tolonglah aku, jika aku berbuat salah, luruskanlah aku. Jujur adalah amanah dan bohong adalah khianat.”
Dari awal beliau sudah mewanti kepada rakyat yang dipimpin untuk selalu mengingatkannya ketika dalam kepemimpinannya nanti ada kekeliruan atau kesalahan. Sebab, yang namanya manusia tidak luput dari kesalahan dan dosa. Untuk menunaikan tugasnya, Abu Bakar membutuhkan rakyat yang kritis, bukan pengikut yang mengiyakan saja, yes man, asal bapak senang (ABS) dan seterusnya yang justru bisa menjerumuskan dirinya.
Ketika banyak orang yang murtad dan enggan mengeluarkan zakat pasca meninggalnya Nabi, Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu membuat keputusan penting, yaitu: memerangi mereka. Dalam suatu musyawarah, langkah ini dianggap keliru oleh Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu. Sebab ada hadits yang melarang membunuh orang yang mengucapkan La Ilaha Illallah.
Apa Abu Bakar marah ketika diingatkan oleh Umar? Sama sekali tidak. Justru dengan sangat meyakinkan beliau menunjukkan argumen yang masuk akal dan sesuai dengan petunjuk Rasulullah. Kelak Umar pun mengakui bahwa keputusan Abu Bakar itu sangat tepat.
Suatu hari, Umar bin Khattab naik mimbar. Dalam momen itu, beliau berdialog dengan rakyatnya, “Wahai sekalian muslimin, apa yang akan kalian ucapkan seandainya kepalaku cenderung ke arah dunia seperti ini?”
Tiba-tiba, ada orang berdiri merespon pertanyaan umar. Katanya, sembari memperagakan tangannya bak pedang, “Kami akan berbicara dengan pedang seperti ini.” Sebagai suatu gambaran bahwa jika Umar melenceng, maka akan diluruskan dengan pedangnya.
“Apakah engkau mengancamku?” tanya Umar. “Ya. Hati-hatilah engkau dengan ucapanku.” Mendengar hal itu, Umar bukan marah malah wajahnya berbinar penuh kegembiraan. (Tak bisa dibayangkan kalau zaman sekarang, mungkin orang yang kritis seperti ini akan dibui) Umar melanjutkan kata-katanya, “Semoga Allah merahmatimu dan segala puji bagi Allah yang telah menjadikan di antara kalian seseorang yang meluruskan kesalahanku.” (Kisah ini bisa dibaca dalam buku Husein Haikal).
Pada momen yang lain, saat hendak menyampaikan maklumat di atas mimbar. Tiba-tiba, Salman berkata, “Demi Allah, kami tidak akan mendengar!” “Mengapa Salman?” tanya Umar. Ternyata, ini masalah baju yang digunakan oleh Umar. Pada saat pembagian ghanimah kain dari Yaman, para prajurit yang ikut serta dibagi satu-satu. Umar dikira mengambil dua baju, yaitu termasuk yang dipakainya saat itu, saat sedang berbicara di atas mimbar.
Akhirnya, Umar mengklarifikasinya langsung dengan memanggil anaknya Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu. Ternyata, itu milik Abdullah dan itu diakui oleh Abdullah. Umar pun berkata, “Aku adalah laki-laki jangkung. Sedangkan kainku sudah pendek, maka Abdullah memberikan jatah kainnya kepadaku lalu aku menyambungnya dengan kainku.”
Mendapat jawaban itu, Salman terharu dan matanya berkaca-kaca. Kemudian dia berkata, “Alhamdulillah, sekarang sampaikan apa yang hendak engkau katakan. Kami mendengar dan kami akan menaatinya.” Demikianlah sebuah gambaran luar biasa di mana seorang pemimpin siap untuk dikritik.
Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu ‘anhu pun demikian. Ketika banyak desas-desus beredar mengenai pemerintahannya yang dituduh nepotisme, dan lain sebagainya, beliau mengadakan forum tanya jawab. Dalam kesempatan itu, beliau siap dikritik dan mengklarifikasi semua tuduhan miring mengenai dirinya. Sebagai pemimpin, ia lebih memilih cara-cara damai dan berusaha sedemikian rupa untuk menjauhi kekerasan.
Kalau dilihat dalam hayat Imam Ali Radhiyallahu anhu, beliau juga siap dikritik. Walaupun itu di depan umum. Suatu hari, ada orang dengan nada kritis bertanya kepada beliau, “Kok bisa, pada masa Anda ini orang banyak berselisih. Padahal, pada masa Abu Bakar dan Umar, mereka tidak berselisih?”
Apa Ali marah dengan pertanyaan kritis ini? Sama sekali tidak. Beliau menjawabnya dengan jawaban menukik, “Karena Abu Bakar dan Umar, waktu itu memimpin orang-orang seperti saya, sedangkan saat ini, yang aku pimpin adalah orang-orang seperti kamu.” (Tarikh Ibnu Khaldun, I/264).
Perhatikan! Untuk menjawab pertanyaan kritis yang menyudutkan itu, Ali menjawabnya dengan santai dan dengan logika jenaka sehingga orang tersebut tidak mampu lagi menjawabnya.
Kisah-kisah itu menunjukkan bahwa pemimpin bukan hanya siap dilantik, tapi juga mau dikritik. Pemimpin bukan saja siap mendapat fasilitas dalam kepemimpinannya, tapi siap diprotes ketika ada kekeliruan-kekeliruan yang dilakukannya. (MBS)