Sifat Nabi bagian IV yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah tabligh. Dalam kamus Al-Munawir, kata ini berasal dari kata ballagha-yuballighu-tablighan yang artinya menyampaikan.
Tabligh merupakan sifat yang melekat pada Nabi yang dipilih oleh Allah Ta’ala sekaligus menjadi Rasul. Sebab, di kalangan ulama dibedakan antara Nabi dan Rasul.
Nabi adalah yang mendapat wahyu dari Allah Ta’ala tetapi untuk kebaikan diri sendiri. Sedangkan Rasul adalah yang mendapatkan risalah dari Allah dan disuruh untuk menyampaikannya kepada manusia. Dan masih banyak lagi pendapat mengenai perbedaan keduanya yang tidak bisa disebut semua dalam tulisan singkat ini.
Adapun dalil tabligh, bisa dibaca dalam ayat berikut:
أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ ۖ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ ۚ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 67)
Dalam tafsir Al-Jalalain dijelaskan, “Hai Rasul, sampaikanlah semua yang dirutunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu sembunyikan sesuatu pun daripadanya karena takut akan mendapatkan hal-hal yang tidak diinginkan. Dan jika tidak kamu lakukan, tidak kamu sampaikan semua yang diturunkan padamu itu, berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Karena menyembunyikan sebagian berarti menyembunyikan semuanya.”
Dalam al-Qur`an banyak contoh Nabi yang dipilih menjadi Rasulullah untuk menyampaikan wahyu kepada manusia. Di antara mereka hanya dibatasi pada kaum tertentu, seperti Nabi Nuh, Luth, Musa, Isa dan lain-lain. Ada juga yang disuruh menyampaikan dakwah kepada seluruh manusia, yaitu: Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Suatu hari, ketika Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam berselimut, turunlah wahyu (Qs. Al-Muddatsir: 1-7). Beliau pun bergegas bangun dari ranjang. Khadijah sebagai istri yang melihat suami tercinta terlihat letih, segera menganjurkannya tidur kembali supaya hatinya tenang. Jawaban sang suami sungguh dahsyat dan tak pernah diprediksi: “Wahai Khadijah! Masa tidur dan istirahat telah habis. Jibril telah memerintahkanku memperingatkan dan berdakwah pada manusia” (Muhammad Husain Haikal, Hayāt Muhammad, 1/192).
Terlebih sejak turun surah Al-Hijr ayat 94, “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang ang musyrik.” Sejak itu, Nabi terus menyapaikan dakwah. Dimulai dari keluarga terdekatnya, kawan dekat, hingga orang di seluruh Mekkah secara umum selama 13 tahun lamanya.
Waktu di Mekkah Nabi menyampaikan ketidakbenaran paham orang-orang musyrik seperti berbagai khurafat, kesyirikan, berhala dan sebagainya yang sama sekali tidak memiliki nilai di sisi Allah. Beliau menyampaikan dakwah tauhid sebagaimana dakwah Nabi Ibrahim.
Dakwah ini kemudian menimbulkan reaksi keras dari kalangan pemuka kafir Quraiys. Mereka melakukan berbagai cara –baik yang halus maupun kasar—untuk menghalangi Nabi Muhammad dalam menyampaikan dakwah. Nabi sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari mereka: citranya diburukkan, pernah dilempar kotoran saat shalat dan sebagainya, demikian pula sahabatnya yang turut menyampaikan dakwah.
Dakwah itu diteruskan hingga di Madinah selama 10 tahun. Semua beliau sampaikan tanpa ada yang dikurangi atau ditambah. Ini menunjukkan betapa amanah Nabi Muhammad dalam mengemban risalah-Nya. Maka, pada waktu haji Wada’, haji terakhir sebelum beliau meninggal dunia, setelah Nabi Muhammad memberikan pesan beliau mengatakan “Ya Allah aku telah menyampaikan! Ya Allah saksikanlah!”.
Ibnu Abbas juga menyampaikan pesan Nabi pada sakit terakhir sebelum Nabi meninggal dunia:
كَشَفَ رَسُولُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السِّتْرَ وَرَأْسُهُ مَعْصُوبٌ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ فَقَالَ: «اللَّهُمَّ قَدْ بَلَّغْتُ ـ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ـ إِنَّهُ لَمْ يَبْقَ مِنْ مُبَشِّرَاتِ النُّبُوَّةِ إِلَّا الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ يَرَاهَا الْعَبْدُ أَوْ تُرَى لَهُ، أَلَا وَإِنِّي قَدْ نُهِيتُ عَنِ الْقِرَاءَةِ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ، فَإِذَا رَكَعْتُمْ فَعَظِّمُوا رَبَّكُمْ، وَإِذَا سَجَدْتُمْ فَاجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ فَإِنَّهُ قَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ»
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu saat menyingkap tirai, dan kepalanya dililit (diperban) dengan kain karena sakit -yang akhirnya menyebabkan beliau meninggal dunia- lalu Beliau bersabda: “Ya Allah, telah kusampaikan -tiga kali-, sesungguhnya tidak tersisa lagi kabar kenabian kecuali mimpi yang benar, yakni mimpi yang dilihat atau diperlihatkan kepada seorang hamba”. Kemudian Beliau menambahkan, “Ketahuilah, aku dilarang membaca (Al Qur’an) saat ruku’ atau sujud. Ketika ruku’ maka agungkanlah Rabb kalian dan ketika sujud maka bersungguh-sungguhlah dalam berdoa. karena saat itu kemungkinan besar doa kalian dikabulkan.” (HR. An-Nasai)
Kalimat “Allahumma qad ballaghtu” (Ya Allah telah kusampaikan) menunjukkan bahwa Nabi benar-benar memiliki sifat tabligh yakni menyampaikan dakwahnya walau harus menangung banyak risiko. Dan kegembiraan Nabi adalah ketika semua risalah yang diembannya sudah disampaikan kepada umatnya. (MBS)