Seringkali terjadi kasus di mana pasangan laki-laki perempuan hamil di luar nikah kemudian, karena alasan malu dan lain sebagainya, akhirnya dinikahkan. Bolehkah wanita demikian dinikahi?
Terkait masalah menikah dengan wanita hamil di luar nikah dengan pasangan yang menghamilinya, para ulama ahli fikih berbeda pendapat.
Madzhab Maliki, Hanafi dan Abu Yusuf berpendapat bahwa wanita demikian tidak boleh dinikahi sebelum ia selesai melahirkan anaknya. Pendapat ini berdasarkan pada hadits berikut:
لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ
“Wanita hamil tidak boleh digauli hingga melahirkan.” (HR. Abu Dawud)
Sa’id bin Musayyab Rahimahullah pernah meriwayatkan kasus serupa bahwa ada seorang lelaki menikahi perempuan. Ketika malam pertama, didapati bahwa pasangannya itu sedang hamil. Kemudian, masalah ini disampaikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian beliau memisahkan (menceraikan) keduanya.
Sedangkan Madzhab Syafi’i dan Hanbali Rahimahumallah berpendapat bahwa boleh menikahi wanita yang hamil di luar nikah. Alasannya adalah hadits berikut:
الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ، وَلِلْعَاهِرِ الحَجَرُ
“Anak itu milik pemilik kasur (suami) sedangkan lelaki pezina baginya adalah batu (dirajam).” (HR. Bukhari) Karena anak yang dihasilkan di luar nikah nasabnya tidak jelas, maka wanita yang sedang mengandungnya boleh dinikahi. Tapi, anak dari hasil di luar nikah, tidak memiliki nasab.
Ustadz Abdul Qadir Hassan ketika ditanya mengenai hukum menikahi wanita hami, khususnya yang di luar nikah, juga mengemukakan beberapa pendapat ulama: Pertama, ada yang berpendapat boleh menikahinya. Mengapa demikian? Karena tidak ada keterangan yang melarangnya, sementara ayat dalam surah Ath-Thalaq menurut golongan ini ditujukan kepada perempuan hamil dari seseorang yang sebelumnya dinikahi orang lain.
Kedua, berpendapat tidak boleh. Karena seorang perempuan hami di luar nikah idak boleh dinikahi sampai ia melahirkan sebagaimana keterangan di atas tadi. Dasarnya adalah surah Ath-Thalaq ayat 4. Mengapa? Karena ayat ini tidak membatasi yang hamil dari suaminya atau di luar nikah.
Kalau pendapat beliau sendiri, “Maka dalam hal tersebut, lebih baik dan lebih selamat ditunggu sampai perempuan itu melahirkan anak.” (Kata Berjawab, I, 2004: 424, 425)
Ada kasus lain yang perlu diangkat terkait dengan kasus serupa. Pada tahun 1963, saat suhu politik dalam negeri sedang memanas, ada banyak orang yang datang ke ibu kota menjadi gelandangan. Bahkan banyak yang hidup bersama –lawan jenis—tanpa ikatan pernikahan padahal melakukan hubungan suami-istri. Melihat kondisi demikian, pengurus Masjid Al-Azhar yang dipimpin Buya Hamka merasa prihatin dengan kejadian ini. Akhirnya masalah ini didiskusikan dengan politisi, negarawan dan hartawan.
Amiruddin Siregar ketika bertanya langsung kepada Buya Hamka mengenai masalah ini, Buya menjawab, “Lebih baik mengakhiri keadaan zinah itu dengan melegalisir perkawinan mereka.” Waktu itu Buya menyitir ayat yang mengatakan bolehnya mengawinkan sesama mereka itu. (Perjalanan Terakhir Buya Hamka, 1981: 150, 151) Kemungkinan besar adalah ayat berikut:
الزَّانِي لَا يَنكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ ۚ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (QS. An-Nur [24]: 3)
Dikumpulkanlah zakat mal dan fitrah untuk membantu mereka. Trobosan yang dilakukan oleh pengurus Masjid Al-Azhar pada masa itu untuk mengatasi problem gelandangan tersebut adalah menikahkan mereka secara massal dengan nikah cara Islam. Masjid Agung Al-Azhar bekerjasama dengan KUA menyelenggarakan nikah massal. Setelah nikah massal ini, di antara mereka banyak yang kembali pulang kampung.
Dari beberapa keterangan di atas teranglah bahwa ada dua arus dalam masalah ini. Ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak. Kalau pun memilih yang boleh, bukan berarti dibolehkan berzina, sebab itu diharamkan dalam Islam. Maka bagi laki-laki dan perampuan yang bukan mahram diharuskan menjaga diri jangan sampai terjerumus ke dalam masalah seperti ini. (MBS)