Zikir sebelumnya lebih terkait dengan rasa syukur kepada nikmat Allah yang dianugerahkan kepada hamba-Nya. Sedangkan dalam zikir pagi dan sore 3 ini, lebih memfokuskan pada keikhlasan, keislaman agama Ibrahim yang hanif (lurus).
Suatu hari, Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu ‘anhu beserta sahabat lainnya diajari Nabi zikir pagi dan sore. Kalau pagi doanya sebagai berikut:
أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ الْإِسْلَامِ وَكَلِمَةِ الْإِخْلَاصِ، وَسُنَّةِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمِلَّةِ أَبِينَا إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا مُسْلِمًا، وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Ashbahna ‘ala fithratil-Islaam wakalimatil-ikhlash, wasunnati Nabiyyina Muhammadin Shallallahu ‘alaihi wasallam, wamillati Abiina Ibrahiima Hanifan musliman wama kaana minal musyrikin.
“Kami berpagi-pagi di atas fithrah Islam, di atas kalimat ikhlash serta di atas agama Nabi kami Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, di atas millah Ibrahim yang lurus dan muslim, dan dia bukan termasuk orang musyrik.”
Sedangkan untuk sore hari, tinggal mengganti kata ashbahna menjadi amsaina sebagaimana berikut:
أَمْسَيْنَا عَلَى فِطْرَةِ الْإِسْلَامِ وَكَلِمَةِ الْإِخْلَاصِ، وَسُنَّةِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمِلَّةِ أَبِينَا إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا مُسْلِمًا، وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Amsaina ‘ala fithratil-Islaam wakalimatil-ikhlash, wasunnati Nabiyyina Muhammadin Shallallahu ‘alaihi wasallam, wamillati Abiina Ibrahiima Hanifan musliman wama kaana minal musyrikin.
“Kami memasuki waktu sore di atas fithrah Islam, di atas kalimat ikhlash serta di atas agama Nabi kami Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, di atas millah Ibrahim yang lurus dan muslim, dan dia bukan termasuk orang musyrik.” (HR. Ahmad)
Dalam kitab “Mirqaatul-Mafaatiih” (IV: 1675), Ali bin Sultan Al-Qari menjelaskan bahwa selain diriwayatkan Imam Ahmad, hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ad-Darimiy.
Maksud “atas fithrah Islam” adalah sesuai dengan fithrah atau penciptaan asal manusia yaitu Islam. Ini sesuai dengan firman Allah: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum [30]: 30)
Pada asalnya, fithrah manusia adalah Islam, kemudian orang tuanyalah yang mengubahnya menjadi beragama selain Islam. Nabi bersabda: “Tidak ada seorang anak pun yang terlahir kecuali dia dilahirkan dalam keadaan fithrah. Maka kemudian kedua orang tuanyalah yang akan menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi sebagaimana binatang ternak yang melahirkan binatang ternak dengan sempurna. Apakah kalian melihat ada cacat padanya?” (HR. Bukhari)
Selanjutnya, yang dimaksud dengan “kalimah al-Ikhlash” adalah tauhid murni dan bisa membebaskan dari tirai atau hijab di dunia. Ia bisa menyelamatkan dari sanksi akhirat. Ini kalimat tauhid sekaligus kalimat yang baik (thayyibah) yaitu: La Ilaaha Illallah, Muhammadun Rasulullah (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, [dan] Muhammad adalah Rasul Allah).
Selain komitmen pada fithrah Islam dan kalimat ikhlas, keterangan selanjutnya adalah tentang “din nabiyyina Muhammad” yaitu agama Islam, sebagaimana Nabi-nabi sebelumnya yang juga beragama Islam.
Dalam surah Ali Imran ayat 19, disebutkan bahwa agama yang diridai Allah, hanya Islam. Nabi Ibrahim pun mengaku dirinya berislam (QS. Al-Baqarah [2]: 131) Bahkan, wasiat Ya’qub kepada anak-anaknya adalah, “Jangan sampai kalian mati, kecuali dalam kondisi muslim.” (QS. Al-Baqarah [2]: 132)
Demikian juga “millah Ibrahim” yang merupakan Bapak Tauhid, khalilullah (kekasih Allah), kita berkomitmen pada dasar-dasar agama hanif yang dibawanya dan demikian juga pada sebagian urusan cabang (furu’) seperti khitan dan lain-lain.
Nabi Ibrahim memiliki agama yang hanif, maksudnya condong dari agama-agama batil kepada agama yang adil dan tetap. Lawannya adalah atheis. Maksudnya di sini adalah agama Ibrahim Islam. Beliau tunduk sepenuhnya pada Islam dan tidak melirik kepada agama lain. Dan beliau sama sekali bukan bagian dari orang-orang musyrik. Ini sebagai bantahan atas orang Yahudi dan Musyrikin yang mengaku beragama seperti Nabi Ibrahim.
Dari hadits Ini, Nabi mengajarkan zikir yang maknanya dahsyat. Bahwa selain nikmat Allah yang luar biasa pada pagi dan sore hari, maka sebagai komitmen rasa syukur maka perlu diejawantahkan dalam suatu komitmen untuk menetapi fitrah Islam, konsisten dalam tauhid, berpegang pada Islam sebagai agama para Nabi hingga akhir hayat dan menjauhkan diri dari segala kemusyrikan.