Apa yang terbayang dibenak pembaca ketika disebut orang kuat? Yang badannya berotot, fisiknya besar, badan atletis? Bagaimana sebenarnya orang kuat yang sesungguhnya?
Suatu hari Abu Hurairah mendengar Nabi bersabda:
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الغَضَبِ
“”Tidaklah orang yang kuat adalah orang yang pandai bergulat, tapi orang yang kuat adalah orang yang dapat menahan nafsunya ketika ia marah.” (HR. Bukhari)
Dalam riwayat Muslim disebutkan juga sabda Nabi semisal: “Bukanlah yang disebut dengan kuat itu orang yang jago gulat.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, lalu siapakah yang disebut dengan orang yang kuat?” Beliau menjawab: “Yaitu orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.”
Dengan demikian, menurut Nabi, orang kuat bukan terutama yang dilihat adalah fisiknya, tapi sejauh mana dia bisa mengendalikan jiwanya agar tidak menuruti amarahnya.
Ada kisah menarik untuk dijadikan contoh terkait orang yang kuat mendendalikan amarahnya. Imam Ghazali dalam kitab “Ihya” mengisahkan suatu hari Al-Ahnaf bin Qais ditanya, “Dari siapakah engkau mempelajari tidak lekas marah?”
Al-Ahnaf pun menjawab, “Dari Qais bin ‘Ashim.” Ia masih penasaran, kemudian melanjutkan pertanyaan, “Sampai di manakah tidak lekas marahnya itu?” Al-Ahnaf menjawab dengan kisah berikut:
Suatu waktu, Al-Ahnaf bin Qais duduk di rumahnya, tiba-tiba datanglah budak wanitanya membawa tempat membakar daging dari besi, di atasnya sudah ada daging yang sudah dibakar. Malangnya, tempat pembakaran daging itu jatuh ke atas kepala putera Al-Ahnaf bin Qais.
Anak itu kemudian luka parah dan tak tertolong nyawanya. Seketika tubuh budak itu gemetar takut mendapatkan balasan dari tuannya. Ternyata, Al-Ahnaf malah berkata, “Tidaklah tenang dari gemetarnya tubuh budak wanita ini, selain dimerdekaakan.” Akhirnya budak itu dimerdekakan oleh Al-Ahnaf, “Engkau merdeka, tidak mengapa perbuatan engkau itu.”
Bayangkan, betapa kuatnya Al-Ahnaf bisa menahan amarahnya. Terlebih, anaknya sendiri yang luka hingga meninggal akibat kelalaian sang budak. Menariknya, semua itu tak dilampiaskan, malah melakukan perbuatan terpuji: membebaskan sang budak wanita.
Kisah ini sebagai gambaran luar biasa bahwa orang kuat, yang dinilai pertama kali oleh agama adalah sejauh mana bisa mengendalikan dirinya saat marah. Saat marahnya terkendali, maka ia akan terarah kepada perbuatan-perbuatan luhur sebagaimana Al-Ahnaf.
Tidak mengherankan, ketika suatu hari ada orang yang meminta nasihat kepada Nabi, kemudian diberi nasihat yang diulang berkali-kali, “Jangan marah!” Suatu hari Nabi juga memberi nasihat kepada Abu Darda’ mengenai amal yang bisa memasukkannya ke dalam surga. Kata beliau:
لَا تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ
“Kamu jangan marah, dan bagimu surga.” (HR. Thabrani) [MBS]