KETIKA majalah Al-Lisan (1935) baru terbit satu atau dua edisi, dikisahkan oleh Rubai’ie Widjaja dalam majalah Al-Muslimun (No. 238, Thn. XX [1990]) bahwa Ustadz A. Hassan mengadakan safari dakwah dari Bandung hingga Tanjung Priuk.
Sebulan berikutnya, berdirillah cabang Persis (Persatuan Islam) dan Persistri yang tenaganya pada waktu itu adalah KH. Md. Ali Al-Hamidy (sabagai guru), KHM. Thahary (sebagai ketua), Moh Sa’ied (sebagai skretaris), Keneng (bendahara) dan Ny. Unah (pemimpi Persistri).
Untuk mengokohkannya, didatangkanlah KHM. Tamim Bogor. Kiyai yang suka menyebut kata Urang Sunda ini menyanggupi dan harus pergi-pulang, bolak-balik dari Bogor ke Tanjung Priuk setiap pekan.
H. Tamim meski usia sudah dikatakan manula saat itu tapi tenaga dan semangatnya masih energik dan suaranya masih lantang bak pemuda. Dalam tablighnya biasanya diselingi dengan guyon-guyon ala Sundawi, dan beliau memang dikenal humoris. Orang-orang biasa memanggilnya Ama Tamim.
Pada suatu hari, ketika Ama Tamim bertabligh di malam hari di bilangan Jalan Jati , dekat dari isntalasi BPM & Socony, dalam ceramahnya beliau menyuarakan anti terhadap Ahmadiyah Qadiyan. Ini disampaikan karena pada waktu itu ada seorang Ahmadiyah Qadiyan yang mengikuti ceramahnya.
Waktu itu orang Ahmadiyah itu diberi kesempatan berbicara; dan Ama Tamim pun menyuruhnya mengucapkan syahadat kemudian diterjamahkan. Orang itu pun mengikutinya dan tanpa sadar bahwa dengan mengucapkan syahadat berarti dia mengamini pendapat Ustadz Ali Al-Hamidy bahwa syahadat Ahmadiah itu palsu.
“Bukankah dalam penyaksiannya atas kerasulan Muhammad saw itu terpadu penyaksian atas ke-‘nabi”-an Mirza Ghulam Ahmad? Nu teu aya dituna!” kelakar Ama Tamim. “Yang tiada dari sononya syahadat model Nabi palsu!” Jamaah pun tertawa riuh. Sampai-sampai Ketua Majelis Tabligh Mu’allim Thahari pun menenteramkan hadirin jangan sampai mengeluarkan celaan atau cemo’ohan.
*****
KH. Tamim ini termasuk ulama Persatuan Islam. Dalam buku “Gerakan Kembali ke Islam: Warisan Terakhir A. Latief Muchtar” (1998: XIV), disebutkan bahwa saat ulama Persis mengadakan pertemuan membahas Peringatan Maulid, Isra’ Mi’raj dan sebagainya, KH. Tamim Bogor ini turut hadir bersama ulama Persis lainnya seperti: A. Hassan, KH. Munawar Khalil (Semarang), Kh. Ghozali (Solo), KH. Ma’shum (Yogyakarta) dan lain sebagainya.
Dalam buku “A. Hassan Wajah dan Wijhah Seorang Mujtahid” (1985: 19), disebutkan bahwa saat A. Hassan pindah ke Bandung tahun 1924, beliau berkenalan dengan tokoh Persis seperti ‘Asy’ari, Haji Tamim dan lain sebagainya.
*****
Melihat gaya hidup KHM. Tamim, sangat mirip dengan Ustadz A. Hassan. Beliau sebagai ulama sangat berdikari dan memilih hidup sederhana. Dalam ceramah, sering kali menolak menerima honor, padahal wajar saja bila beliau mau karena harus pulang-balik antar kota. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beliau berbisnis kecap sehingga tak menggantungkan pada santunan orang lain dalam dakwahnya.
Ruba’ie Widjaja menggambarkan bagaimana KHM. Tamim berbusana. Katanya, “Jas tutup kain sarung poleng, kepala bersorban kaku berulas terumpah model Priangan, ikat pinggangnya model kuno: Pakai sepasang dompet buat taro duit & Tembakau mola daun, kawung & gandawesi (Ama Tamim tak merokok). Tapi kalau bicara di muka umum di sana sini ia ucapkan bahasa walanda.”
Biasnya kalau ke Jakarta, Ami Tamim mengingap di rumah Haji Aluwi di bilangan Jatieweg. Biasanya kalau ke Jakarta bertabligh istrinya dibawa dengan membawa kecap untuk dijual dan tak lupa membawa kertas untuk mengarang tulisan dengan menggunakan huruf Arab Melayu yang nanti dijadikan buku stensilan. Hasilnya nanti dibuat ongkir perjalanan dakwah.
Hal yang tak kalah penting, meski dikenal humoris dan suka berkelakar, Ami Tamim tahu menempatkan situasi dan kondisi. Kalau menyangkut hal yang butuh ketegasan seperti fiqih, maka prinsip beliau: qulil haqqa walau kaana murron (Katakanlah kebenaran yang benar sekalipun pahit bagai jadam!).
*****
Dari Haji Tamim, ada banyak pelajaran yang bisa diambil, baik oleh orang Persis maupun yang lainnya, di antaranya: kesederhanaan, penguasaan metode dakwah (salah satunya dengan humor), berdikari, tegas pada aliran menyimpang dan selalu semangat dalam berdakwah walaupun harus bersusah payah agar yang HAQ tetap berjalan. Melihat beliau, saya teringat hayat A. Hassan dan ulama Persis lainnya yang dikenal sederhana. Rahimahumullah rahmatan waasi’ah. (MBS)